Headline

Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.

Fokus

Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.

Mitigasi

Adiyanto, Wartawan Media Indonesia
05/8/2019 19:08
Mitigasi
adiyanto(Dok.MI)

PAGI tadi saya menjenguk ibu. Usai mengantar anak sekolah, saya mampir dulu beli koran dan sedikit jajanan pasar. Saya pikir berita listrik padam yang lagi trending, baik di jagat maya maupun dunia nyata, menarik buat ibu.

Tapi, dugaan saya keliru. Beliau cuma bilang.."Ah, baru listrik padam sehari orang-orang pada ribut. Coba gimana kalau Tuhan besok-besok gak kasih kita Matahari"? Maksud ibu, kita harus pandai bersyukur dan jangan takabur.

"Dunia tanpa matahari" bukanlah fiksi. Setidaknya itu pernah dirasakan sebagian umat  manusia akibat dampak erupsi Tambora pada 1815. Dari literatur yang saya baca, abu dan panas sulfur yang menyembur dari gunung yang terletak di Nusa Tenggara Barat itu berdampak luas, bahkan hingga menutup langit eropa selama berbulan-bulan. Konon, suhu rata-rata global ketika itu anjlok hingga dua derajat celcius. Bencana kelaparan dimana-mana. Ratusan ribu nyawa melayang. Betapa dahsyatnya.

Kemarin, di sebagian tanah Jawa, listrik padam kurang lebih setengah hari. Layanan publik, terutama transportasi seperti kereta api commuter line, MRT, hingga ojek online, lumpuh. Sinyal  selular  ikutan ambyar. Pendingin ruangan pun modar. Orang-orang di kota besar blingsatan dan sibuk memaki. Begitu mahakuasanya listrik, sampai-sampai orang bergantung padanya.

Lantas, bagaimana kalau listrik padam selamanya? Ini bukan berandai andai seperti cerita di film-film science fiction. Toh energi listrik yang dihasilkan dari sejumlah pembangkit dihasilkan dari sumber lain, seperti air dan batu bara. Seperti halnya minyak bumi, material itu bisa saja habis suatu waktu.

Makanya pengembangan energi alternatif (istilah kerennya energi baru terbarukan) seperti angin, geothermal, dan tenaga surya, mutlak perlu segera dikembangkan. Begitu pun  sosialisasi tentang bahayanya krisis energi mesti gencar digaungkan, terutama di kalangan generasi muda. Ini bukan semata tugas Kementerian ESDM, PLN, atau Pertamina, melainkan tugas kita bersama.

Jangan mereka cuma ditakut-takuti tentang alam akhirat, tanpa pernah disadarkan bahaya neraka sesungguhnya di depan mata yang diakibatkan kerusakan alam. Bukankah Tuhan juga mengajarkan kita untuk merawat semesta beserta makhluk ciptaan-NYA?

Ingat, kita juga hidup di wilayah rawan bencana. Negeri kita dikepung gunung api. Di bawah tanah yang kita pijak, lempeng bumi terus bergerak dan sewaktu-waktu bisa memicu gempa dan tsunami. Sejauh mana mitigasinya? Jangan setelah kejadian, semua sibuk saling menyalahkan dan cuma bisa nyiyir di media sosial. (X-12)

 

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya