Headline

Presiden memutuskan empat pulau yang disengketakan resmi milik Provinsi Aceh.

Fokus

Kawasan Pegunungan Kendeng kritis akibat penebangan dan penambangan ilegal.

Ke Jakarta Aku kan Kembali

Sutrisno Alumnus Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS)
12/6/2019 02:55
Ke Jakarta Aku kan Kembali
Ilustrasi(MI/Tiyok)

"KE Jakarta Aku kan Kembali....” bait ini merupakan petikan lagu Koes Plus pada 1960-an. Kini menjadi semacam lagu wajib yang eufimistis tentang urbanisasi, khususnya setelah Lebaran. Ya, kembali ke Jakarta setelah beberapa hari mudik ke daerah asalnya. Kalau dulu, semangat lagu itu ialah impian indah yang memang terbuka lebar di Ibu Kota, sekarang merupakan gambaran solusi satu-satunya, setelah desa tidak memberi cukup harapan untuk merajut masa depan.

Di luar pilihan bekerja di luar negeri, Jakarta menjadi tempat menoleh setelah mengalami kebuntuan di desa. Arus balik yang selalu menambah jumlah orang pasca-Idul Fitri ialah cermin nyata.

Kota-kota besar seperti Jakarta dan sekitarnya, masih menjadi daya tarik utama urbanisasi. Menurut pakar ilmu sosial, Wilkinson (1973), motif utama migrasi orang desa ialah menyangkut kebutuhan hidup manusia. Implikasi migrasi desa-kota kian terasa eksesif dengan meningkatnya demand side atas kesempatan kerja, membubungnya ekspektasi orang desa untuk hidup lebih sejahtera, dan penyediaan fasilitas infrastruktur serta pelayanan kota yang memadai yang secara kumulatif kian menambah persoalan bangsa.

Membanjirnya kaum urban selalu disinyalir sebagai biang kerok kesemrawutan Ibu Kota. Dari perspektif sosial, memang ada setumpuk persoalan yang selalu melekat pada kondisi Jakarta seperti fenomena kekumuhan dan menyebarnya kesemrawutan yang mengakibatkan hilangnya pesona metropolitan, sebagai akibat dari ledakan urbanisasi yang terus meningkat. Oleh para ahli, itu memang merupakan sesuatu yang membahayakan, khususnya bagi daya saing perekonomian dan stabilitas politik negara.

Dalam buku Ekonomika Aglomerasi karya Mudrajad Kuncoro (2012) menyebutkan bahwa aglomerasi industri manufaktur dan populasi besar berkembang di dua kutub, yaitu Jabotabek dan Bandung serta Surabaya.

Hans Dicter Evers (2001) menyatakan, sebenarnya persoalan urbanisasi yang sering dikeluhkan para 'pemilik Jakarta' dan kota-kota besar lainnya di dunia tidak terletak pada overurbanization (urbanisasi berlebihan), tetapi pada urban undevelopment (keterbelakangan urban). Artinya, berbagai persoalan di Jakarta yang berkaitan dengan kehadiran kaum urban lebih terletak pada minimnya keahlian sumber daya manusia kaum urban itu sendiri.

Diperkirakan, penduduk Jakarta sudah mencapai 9,6 juta jiwa atau hampir dua kali lipat dari padapenduduk Singapura. Jika digabung dengan warga Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi sebagai satelit Jakarta, jumlahnya luar biasa banyak, yakni kurang lebih 30 juta jiwa. Jakarta kini merupakan salah satu kota terpadat di kolong langit. Bayangkan, setiap kilometer persegi tanah di Ibu Kota dijejali sedikitnya 15 ribu manusia. Jakarta bukan hanya makin identik dengan kemacetan, melainkan juga kemiskinan dan pengangguran.

Gali lubang kubur
Melarang orang tinggal di Jakarta memasung hak asasi. Sebaliknya, tak ada upaya mencegahnya membuat Jakarta akan keberatan beban. Jumlah penduduk jauh melebihi kemampuannya. Kota Jakarta menggali 'lubang kubur' sendiri. Jumlah penduduk di satu sisi jadi berkah, di sisi lain jadi petaka. Menjadi berkah ketika sebagian besar mereka punya keterampilan. Menjadi petaka ketika sebagian besar mereka, termasuk pendatang baru, ialah pekerja tanpa keterampilan atau pekerja kasar.

Pertanyaannya, apakah dengan demikian dapat dibenarkan bila kehadiran kaum urban perlu dicegah karena kehadirannya dianggap menghambat pembangunan Jakarta? Perlu dicatat bahwa kaum urban selama ini merupakan infrastruktur potensial dan relatif penentu. Berbagai keberhasilan pembangunan fisik gedung bertingkat di Jakarta seperti yang ada saat ini tidak terlepas dari keterlibatan mereka. Karena itu, yang diperlukan ialah bagaimana menempatkan kaum urban pada posisi yang tepat dalam berkarya.

Pertama, pemberdayaan (empowerment) dan empati (compassion) kaum urban. Yang dilakukan peraih Nobel Perdamaian 2006, Muhammad Yunus bersama Bank Grameen yang dia dirikan, ialah konkretisasi empati.

Bank Grameen mengucurkan kredit kepada petani di 71.371 desa dan 98,85% kredit yang dikucurkan (US$5,72 miliar) kembali. Kata kunci pertama, pemberdayaan. Kata kunci kedua, empati. Pengalaman Bank Grameen diperkuat sosok pemikiran Hernando de Soto tentang 'penguatan ekonomi kerakyatan', merangkum dua kata kunci sekaligus.

Kedua, pengembangan pembangunan kota-kota besar lainnya di Indonesia dengan cara penciptaan berbagai peluang kerja secara luas agar masyarakat Indonesia tidak hanya berbondong-bondong datang ke Jakarta, tetapi juga bisa menjadikan kota-kota lainnya sebagai alternatif pilihan. Jauhkan sikap bahwa Jakarta ialah tempat memperoleh uang dengan mudah dan cepat.

Hal ini bisa terwujud jika para kaum urban memiliki ilmu pengetahuan dan keterampilan serta pengalaman yang cukup memadai.
Ketiga, bagaimana melakukan revolusi kebijakan atau dekonstruksi terhadap permasalah dan gagasan di bidang ekonomi, sosial, dan politik, serta budaya. Jakarta harus dibangun dalam koridor itu.

Tak selayaknya semua persoalan dibebankan Jakarta. Kota-kota lain di Indonesia juga harus diberdayakan sesuai kapasitas dan sumber daya yang ada, sedangkan berbagai desa tetap berperan sebagai pilar-pilar pertanian, perkebunan, dan kehutanan atau sumber kekuatan pangan lokal serta sentra industri lokal.

Keempat, praksis otonomi daerah yang hingga kini masih salah kaprah, yang lebih dijadikan sebagai arena perebutan kekuasaan dan berbagai porsi sumber daya lokal oleh penguasa-penguasa lokal, perlu diarahkan secara jelas dengan penciptaan lapangan kerja seluas-luasnya untuk bisa membendung penduduknya berbondong-bondong ke Jakarta.

Selanjutnya, urgensi pemerataan pembangunaan ke desa-desa dan daerah-daerah selain pula Pulau Jawa secara konsisten dan konsekuen diharapkan arus urbanisasi menjadi berkurang, bahkan yang terjadi malah sebaliknya arus ruralisasi, perpindahan penduduk dari kota ke desa dan daerah-daerah.

Ingat, sebagai ibu kota negara, Jakarta sesungguhnya juga 'milik' seluruh warga negeri ini. Jadi, biarkan siapa pun dapat berkiprah secara kreatif dalam melanjutkan pembangunan Jakarta. Tugas para 'pemilik Jakarta' ialah bagaimana menciptakan Jakarta menjadi sebuah kota metropolitan yang nyaman bagi semua untuk berkreasi. Biarkan lirik lagu Koes Plus di atas terdengar terus dari mulut kaum urban.

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya