Headline
Hakim mestinya menjatuhkan vonis maksimal.
Talenta penerjemah dan agen sastra sebagai promotor ke penerbit global masih sangat sedikit.
DALAM peristiwa Natal, Allah datang ke tangah dunia dalam rupa orang asing. Sebagai orang asing, Ia tak dikenal dan bahkan ditolak. Kisah Allah yang ditolak dan tak mendapat tempat di tengah dunia manusia adalah esensi narasi Natal.
Orang Asing
Maria dan Yosef datang dari Nasaret ke Kota Betlehem guna mendaftarkan diri atas perintah Kaisar Agustus. Karena tidak mendapat tumpangan di rumah penduduk, keduanya bermalam di sebuah kandang hewan.
Di tempat yang paling hina itulah Yesus, Sang Penebus, lahir dan menatap dunia. Dalam diri Yesus, Allah mengambil bagian dalam sejarah hidup manusia. Peristiwa inkarnasi ini menjadi basis keterlibatan misionar Gereja di tengah dunia. Paus Fransiskus mengungkapkannya secara tepat: 'Lewat peristiwa inkarnasi Putera Allah telah mengundang kita menuju revolusi cinta yang mesrah' (2013).
Yesus adalah seorang revolusioner dan sekaligus panutan satu-satunya bagi semua orang Kristen. Menurut Paus Fransiskus, seorang Kristen yang tidak revolusioner sudah pasti bukan Kristen. Perubahan dunia menuju yang lebih baik hanya mungkin lewat revolusi gaya hidup yang radikal.
Herodes memandang Yesus sebagai ancaman untuk kekuasaannya. Ia pun memerintahkan para seradadunya untuk membunuh semua bayi di Palestina. Namun Maria dan Yosef berhasil menyelamatkan Yesus dari ancaman Herodes dan mengungsi ke Mesir. Andaikata pemerintah Mesir waktu itu tidak membuka negaranya untuk para pengungsi, mungkin saja bayi Yesus sudah dibunuh.
Post-Demokrasi
Kisah Natal mengingatkan kita akan ribuan pengungsi perang. Mereka diusir dari negeri asal dan menyerbu Eropa sebagai tanah terjanji guna mengais kesejahteraan dan menggapai perdamaian. Namun yang dialami para pengungsi itu bukan saja keramatamahan tuan rumah atau bela rasa, tapi penolakan dan rasisme.
Gelombang pengungsi telah memicu lahirnya konstruksi politik anti orang asing atau populisme kanan di Eropa dan Amerika Serikat.
Di Prancis Jean-Maria Le Pen telah berhasil membesarkan partai populis Front Nasional dengan agenda kampanye anti migran karena kelompok migran dianggap telah merebut lapangan kerja para warga Prancis.
Para pemimpin populis meraup dukungan suara elektoral tidak dengan argumentasi rasional inklusif seperti lazimnya dalam demokrasi. Sebaliknya, mereka memanipulasi sentimen massa dengan kampanye politik antimigran, antiminoritas etnis dan agama.
Populisme kanan mengkapitalisasi agama untuk memuaskan syahwat kekuasaan politik.
Di Jerman misalnya muncul kelompok Pagida (Patriotische Europaer gegen die Islamisierung des Abendlandes) dengan agenda kultural ingin menjaga kemurnian budaya Eropa dan membendung bahaya islamisme di Barat. Gerakan serupa terdapat di Indonesia lewat kelompok fundamentalis agama yang menolak pluralisme dan keberadaan kelompok minoritas.
Populisme kanan adalah sebuah gerakan post-demokrasi. Seperti demokrasi, populisme merujuk pada populus atau rakyat (F Budi Hardiman, 2018). Bedanya, dalam demokrasi rakyat adalah warga (citizen) yang rasional, sedangkan populisme memandang rakyat sebagai kerumunan massa sentimentil yang siap dimobilisasi atas nama agama, etnis dan kepentingan kapital untuk meraih kekuasaan politik.
Gerakan populis membatalkan prinsip negara hukum dan karena itu memperlemah demokrasi atau menciptakan kondisi post-demokrasi. Demokrasi modern dipahami sebagai kumpulan prosedur yang saling berkelindan, ditata secara hukum dan berorientasi pada konsensus sosial dan pengambilan keputusan. Dengan demikian tak ada demokrasi tanpa prinsip negara hukum.
Populisme kanan juga bertentangan dengan demokrasi karena gerakannya tidak berasal dari warga (demos) yang otonom dan rasional, tapi dimobilisasi oleh para pemimpin atau provokator aksi. Para pemimpin populis berbicara atas nama massa tentang luka-kuka kolektif akibat penistaan agama misalnya atau tentang kriminalisasi ulama oleh negara.
Solidaritas Inklusif
Natal adalah sebuah antagonisme terhadap fenomena post-demokrasi sebab pesan Natal adalah inklusivisme. Dalam peristiwa Natal, Allah membatalkan eksklusivisme kelompok dengan menunjukkan solidaritas tanpa batas dan cinta tanpa pamrih kepada umat manusia.
Natal adalah perayaan revolusi cinta. Revolusi cinta itu hanya mungkin tercapai jika kita menjadi simbol harapan bagi dunia dan tidak terjerumus ke dalam bahaya pesimisme yang radikal. Pesimisme radikal adalah ciri khas masyarakat yang menggantungkan seluruh hidupnya pada 'yang duniawi' semata dan menutup diri terhadap hal-hal adikodrati.
Pesimisme radikal adalah karakter dasar orang-orang yang hidup tanpa Allah. Hal ini tampak dalam patologi sosial seperti pragmatisme, egoisme, hedonisme, krisis identitas dan raibnya idealisme.
Dalam situasi ini orang cenderung menarik diri dari dunia dan mencari rasa aman dalam spiritualitas kesenangan minus belah rasa terhadap penderitaan sesame dan solidaritas sosial bagi kaum miskin.
Spiritualitas dan agama seperti ini tidak pernah mencari kehendak Allah, tapi keamananan dan kekuasaan dirinya sendiri. (OL-1)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved