Headline
Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.
Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.
Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.
MASA kampanye Pilpres 2019 secara resmi telah dimulai. Kedua belah kubu capres/cawapres telah bersiap dengan taktik dan strategi pemenangan. Berbagai platform media kampanye dimanfaatkan. Salah satu media kampanye yang bisa dipastikan bakal banyak dimanfaatkan dalam perhelatan Pilpres 2019 ialah media sosial atau medsos.
Hadirnya medsos, harus diakui, telah banyak mengubah taktik dan strategi mendulang suara dalam ajang pemilu di Indonesia. Semenjak ajang Pilpres 2014, pemanfaatan medsos sebagai media kampanye politik di RI terus menunjukkan tren peningkatan. Jika dibandingkan dengan media kampanye konvensional-tradisional yang lain–spanduk, baliho, selebaran, iklan koran, TV, radio atau pengumpulan massa–medsos memang memiliki sejumlah kelebihan.
Memanfaatkan kelebihan
Dalam laporan berjudul Essential Insights Into Internet, Social Media, Mobile, and e-Commerce Use Around the World (2017) yang dirilis We Are Social, sebuah perusahaan riset media yang berbasis di Inggris, pengguna medsos di Indonesia saat ini mencapai 132 juta jiwa. Dari angka itu, sebagian besar memanfaatkan Youtube, Facebook, Whatsapp, Instagram, dan Twitter. Dalam sehari, setiap orang Indonesia rata-rata menghabiskan waktu 3 jam 20 menit untuk mengakses medsos.
Jumlah pengguna medsos di Indonesia yang sedemikian besar tentu menjadi daya tarik tersendiri bagi tim pemenangan capres/cawapres. Tidak heran jika setiap kubu memiliki tim khusus yang bertugas menyasar para pengguna medsos.
Merujuk Cass R Sunstein dalam bukunya #Republic: Divided Democracy in the Age of Social Media (2017), setidaknya terdapat tiga kelebihan pemanfaatan medsos sebagai media kampanye politik, termasuk Pilpres. Pertama, mudah diakses calon pemilih. Laporan dari We Are Social (2017) menunjukkan, dari 132 juta jiwa pengguna medsos di RI, 120 juta di antaranya mengakses medsos melalui perangkat bergerak–gawai, ponsel pintar, atau tablet. Berkampanye melalui medsos, memungkinkan tersebarnya pesan kampanye secara mudah dan murah.
Kedua, berdaya jangkau luas. Berbeda dengan media kampanye konvensional-tradisional, medsos melampaui batasan geografis. Lebih jauh, daya jangkau kampanye melalui medsos memampukan pesan-pesan politik tersampaikan secara tertarget. Melalui Facebook Ads, misalnya, pesan kampanye Pilpres dapat disesuaikan dengan kondisi demografis calon pemilih sehingga lebih terukur dan tepat sasaran.
Ketiga, melibatkan calon pemilih. Mengutip Mike Eckstein, seorang peneliti medsos dari Australia, ‘Social media is much about engagement’(2018). Medsos ialah soal keterlibatan dengan orang lain. Pemanfaatan medsos dalam kampanye Pilpres memungkinkan calon pemilih tidak sekadar pasif menerima pesan-pesan kampanye. Akan tetapi, lebih dari itu, membuka ruang interaksi dan diskusi: menyukai, memberi komentar, atau membagikan pesan-pesan kampanye kepada pengguna medsos lain.
Dengan kelebihan-kelebihan di atas, tidak aneh jika metode kampanye melalui medsos diprediksi juga akan menjadi pilihan utama bagi tim pemenangan capres/cawapres dalam Pilpres 2019.
Namun, pilihan metode kampanye pilpres melalui medsos juga bukan tanpa bahaya. Jika tidak hati-hati, karakter medsos yang membuka ruang sebebas-bebasnya kepada para penggunanya–nyaris tanpa sensor dan tanpa perlindungan privacy–berpotensi mencederai proses pilpres yang seharusnya demokratis.
Belajar dari kasus Pilpres AS
Penyebaran akun dan grup palsu, berita bohong (hoaks), ujaran kebencian, dan fitnah melalui medsos sering kali dianggap sebagai ancaman besar demokrasi, tidak terkecuali dalam pilpres. Wajar saja. Berbagai kelebihan medsos, harus diakui, memang begitu menggoda bagi siapa pun untuk mengikuti adagium ‘menghalalkan segala cara’ demi meraih kekuasaan. Namun, di luar ancaman-ancaman di atas, sebenarnya terdapat ancaman lain yang tidak kalah berbahaya bagi pelaksanaan pilpres yang demokratis: manipulasi data dan psikologi calon pemilih melalui iklan medsos.
Kemenangan kontroversial Donald Trump sebagai Presiden AS yang ke-45 ialah salah satu contoh preseden buruk manipulasi data dan psikologi calon pemilih melalui medsos dalam ajang pilpres. Seperti kemudian terungkap dalam kasus Cambridge Analytica, tim kampanye pemenangan Trump ternyata telah menyalahgunakan 50 juta data pribadi pengguna Facebook untuk kepentingan kemenangan Trump. Data jutaan pengguna medsos ini dimanfaatkan untuk menyebarluaskan iklan-iklan politik Trump secara sangat tertarget.
Dengan dana raksasa US$94 juta dan dukungan teknologi big data, kampanye ‘Make America Great Again’ oleh tim pemenangan Trump bertujuan memanipulasi kondisi psikologis calon pemilih melalui pesan iklan. Brad Parscale, direktur kampanye digital Donald Trump di ajang Pilpres 2016, dalam acara 60 Minutes di CBS News TV menyatakan, dalam sehari setidaknya ditampilkan hingga 60 ribu versi iklan Facebook Ads yang ditujukan untuk segmen pemilih yang berbeda-beda.
Dengan memanfaatkan data demografi, minat, dan perilaku pengguna Facebook yang telah diolah sedemikian rupa, tim pemenangan Trump selanjutnya memilah calon pemilih berdasarkan kecenderungan mereka: pendukung Trump, Hillary, dan mereka yang belum menentukan pilihan.
Melalui iklan-iklan Facebook Ads, data psychographics ini kemudian digunakan untuk memengaruhi dan mengarahkan tendensi psikologis calon pemilih agar mendukung Trump. Hasilnya, secara mengejutkan Trump terpilih sebagai Presiden AS yang ke-45.
Celakanya, bila dibandingkan dengan praktik penyebaran akun dan grup palsu, hoaks, ujaran kebencian, dan fitnah yang serba terbuka, praktik manipulasi data dan psikologi pengguna medsos melalui iklan kampanye politik jauh lebih sulit dilacak dan dicegah.
Pasalnya, praktik ini sering kali dilakukan dalam koridor etiket bisnis periklanan. Misalnya, dengan secara eksplisit menampilkan diri sebagai materi iklan resmi. Sekilas, tidak ada yang salah dengan iklan kampanye politik itu.
Upaya membendung dampak negatif manipulasi data dan psikologi pengguna medsos menjadi semakin sulit karena dalam praktiknya setiap materi iklan yang dibuat dengan strategi ini, hanya bisa dilihat calon pemilih dengan preferensi tertentu. Dengan kata lain, persuasi melalui iklan politik yang ditampilkan telah disesuaikan dengan kondisi psikologis target calon pemilih.
Meskipun seolah berada ‘di bawah radar’, praktik manipulasi data dan psikologi calon pemilih melalui iklan di medsos terbukti telah membawa kesuksesan besar bagi Donald Trump dalam Pilpres AS 2016.
Belajar dari kasus Pilpres AS 2016, bukan tidak mungkin praktik manipulasi data dan psikologi pengguna medsos untuk kepentingan pemenangan salah satu capres/cawapres juga akan terjadi di Indonesia. Inilah tugas berat para pemangku kepentingan Pilpres 2019. KPU, Bawaslu, parpol, pemerintah, dan juga masyarakat luas calon pemilih–untuk bersama berupaya mencegah praktik kampanye kotor di medsos yang berpotensi mengebiri demokrasi dalam momentum Pilpres 2019.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved