Headline
RI dan Uni Eropa menyepakati seluruh poin perjanjian
Indonesia memiliki banyak potensi dan kekuatan sebagai daya tawar dalam negosiasi.
BADAN Tinju Olimpiade mencopot beberapa juri dan wasit dari Olimpiade Rio setelah adanya kontroversi keputusan pertandingan dan sistem penilaian profesional yang baru. Asosiasi Tinju Internasional (AIBA) mengatakan dalam pernyataannya, sampai saat ini telah meninjau dan menemukan semua keputusan di 239 pertandingan tidak berada dalam level yang diharapkan.
"Yang jadi keprihatinan, para wasit dan juri tidak akan lagi bertugas di Olimpiade Rio," ujar petinggi AIBA yang juga menegaskan hasil pertandingan tetap berlanjut, tapi tidak merinci nama-nama (wasit dan juri) lebih lanjut.
AIBA mengatakan keputusan pencopotan ini akan melindungi reputasi olahraga serta para wasit dan juri 'yang integritasnya secara konstan dipertanyakan' dan mereka menegaskan tidak akan terhambat 'oleh penilaian subjektif yang dibuat oleh pihak yang tidak puas'.
Penjurian berada dalam sorotan pada pekan ini setelah ada protes dari petinju Irlandia dan Amerika Serikat karena mereka merasa 'dirampok' dalam pertandingan perempat final.
Petinju Irlandia yang juga juara dunia kelas bantam Michael Conlan melayangkan sumpah serapah dalam siaran langsung televisi setelah kalah dari petinju Rusia Vladimir Nikitin dan menyatakan dia tidak akan bertanding lagi dalam pertandingan di bawah AIBA.
Pelatih AS yang merupakan orang Irlandia Billy Walsh, juga ikut mengkritik setelah anak didiknya, petinju kelas welter junior, Gary Russel, gagal mendapatkan medali.
"Penjurian yang mengerikan, terakhir saya lihat hal buruk seperti ini di Seoul 1988 ketika Roy Jones 'dirampok' di pertandingan final," kata dia.
Pertanyaan juga menyeruak setelah petinju Rusia Evgeny Tischenko memenangi medali di kelas berat yang menimbulkan keriuhan penonton yang melihat lawannya, yaitu petinju Kazakstan Vasily Levit lebih banyak melayangkan pukulan.
Sistem penilaian cabang tinju Olimpiade telah lama dinilai kontroversi dan memunculkan tuduhan aktivitas kecurangan. Kegagalan Roy Jones yang dianggap mendominasi pertandingan untuk mendapatkan emas di Olimpiade Seoul pada kelas menengah ringan setelah dikalahkan petinju tuan rumah Park Si-hun, dianggap keputusan tidak adil yang terbesar dan mencolok.
Akhirnya sistem peilaian dikomputerisasi pada 1989, dengan cara juri menekan tombol kapan pun petinju membuat pukulan. Penilaian tersebut juga memicu kontroversi, saat petinju AS Eric Griffin yang merupakan unggulan di kelas terbang ringan dikalahkan petinju tuan rumah, Rafael Lozano di Olimpiade 1992 Barcelona karena para juri tidak bereaksi cukup cepat untuk meregistrasi pukulannya.
Sedangkan pada Olimpiade Rio kali ini, sistem tersebut digantikan oleh gaya profesional yang memakai format sepuluh poin, dengan lima juri di sisi ring, tetapi penilaian hanya dihitung oleh tiga di antaranya setelah sebelumnya dipilih secara acak oleh komputer.
Hal tersebut tidak menghilangkan kecurigaan, surat kabar Inggris Guardian menyebut dalam laporannya, ada kekhawatiran bahwa beberapa pukulan bisa saja bohong.
Pejabat AIBA asal AS Tom Virgets mengatakan dalam hal tersebut butuh pengertian yang lebih baik. "Pada 2012 juri yang kita miliki adalah robot, sementara sekarang mereka adalah analis. Kami sekarang dalam masa transisi dan memiliki pekerjaan rumah bersama para pelatih untuk melatih para petinju mereka terhadap kriteria yang AIBA cari," kata dia.
Virget menambahkan kriteria yang dimaksud adalah kualitas pukulan ke target, teknik dan taktik, daya saing dan pelanggaran terhadap peraturan. (Rtr/OL-5)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved