Headline
Senjata ketiga pemerataan kesejahteraan diluncurkan.
Tarif impor 19% membuat harga barang Indonesia jadi lebih mahal di AS.
INDONESIA sudah lama menjadi salah satu kekuatan utama dalam olahraga bulu tangkis. Sayangnya dalam beberapa tahun terakhir kejayaan posisi atlet tunggal Indonesia memudar.
Saat ini Indonesia belum lagi menghasilkan pemain tunggal putri peringkat satu kelas dunia sejak Susi Susanti pada 1990-an ataupun pemain tunggal putra peringkat satu dunia sejak Taufik Hidayat pada 2000-an.
Baca juga: Tim Bulu Tangkis Indonesia Sampai di Finlandia dalam Kondisi Baik
Mengingat badminton adalah salah satu olahraga yang dapat mengharumkan nama bangsa, turunnya peringkat ini tidak boleh diterima. Atas dasar kepedulian dan keprihatinan yang timbul karena kondisi bulutangkis Indonesia yang terpuruk saat ini, Roy Karamoy dan Harry Tumengkol mendirikan Royce Badminton Academy yang memiliki visi untuk mencipta juara dunia badminton secara konsisten, serta misi untuk memberikan pengembangan dan pelatihan badminton yang sistematis, efektif dan benar.
“Royce Badminton berniat untuk memberikan solusi dan ingin membuktikan bahwa Indonesia dapat kembali berjaya sebagai kekuatan bulutangkis sejati yang menghasilkan atlet juara dunia secara konsisten, melalui sistem pelatihan jangka panjang yang didasarkan program pembentukan fundamental yang kuat dengan cara yang benar, sistematis, dan efektif,” kata Roy.
Untuk mewujudkan visi itu, Royce Badminton mengembangkan modul pelatihan bulu tangkis dengan prinsip lima pilar yaitu, 1) Penguatan fisik (physical fitness) dan 2) Pelatihan teknis, kemudian didukung dengan 3) Taktik dan strategi yang tepat, serta pelatihan untuk 4) Kesiapan mental dan 5) Gaya hidup yang seimbang. Semua diawali dengan perhatian yang dipusatkan untuk penguatan fundamental bagi para atlet muda melalui kebugaran fisik.
Physical fitness dan footwork adalah pondasi utama yang harus dibangun dengan benar dan kuat hingga atlet dapat melakukan semua tuntutan teknik, taktik, strategi dan mental untuk menjadi atlet kelas dunia. Saat ini menjadi rahasia umum para pemain bulutangkis dari negara lain bahwa cara termudah untuk mengalahkan pemain Indonesia adalah dengan menantang ketahanan fisik mereka. Mereka tahu bahwa atlet dari Indonesia rata-rata fisiknya kurang fit untuk bersaing di pentas dunia.
Menurut Roy, dia tau apa yang salah dengan pengembangan badminton di Indonesia, dan yang lebih penting lagi, bagaimana untuk memperbaikinya. Ada empat faktor utama yang menyebabkan keadaan aib ini terjadi pada bulutangkis Indonesia: 1) Karena kurang sadar dengan pengetahuan proses pengembangan atlet yang benar dan efektif. 2) Kebiasaan manipulasi umur, 3) Pemberlakuan sistem insentif yang kontraproduktif bagi para atlet muda, dan 4) Sistem pelatihan yang terbalik dan tanpa fundamental fisik yang kuat dan benar.
Baca juga: Tim Bulu Tangkis indonesia Terus Mantapkan Persiapan Jelang ...
Sistem pengembangan hingga sistem pelatihan saat ini kontra-produktif dan lahir karena kurang sadar dengan pengetahuan proses pembinaan atlet yang benar dan efektif. Sistem pengembangan saat ini terlalu menghargai citra sukses instan karena merupakan sumber penghasilan bagi klub dan pelatih yang berhasil memproduksi juara-juara kecil. Sistem pembinaan atlet sejak usia dini bertujuan untuk kejar poin dan menghasilkan juara instan. Sementara, sistem pelatihan atlet tanpa pemberian fundamental yang benar dan memiliki arahan yang salah.
Roy berpendapat bahwa praktik pemalsuan usia pemain marak terjadi di Indonesia. Ia memperkirakan lebih dari 80% atlet dari klub bulutangkis di Indonesia memiliki identitas usia yang palsu. Manipulasi usia pemain dapat bervariasi dengan mengambil selisih pengurangan dua hingga delapan tahun. Artinya, banyak atlet muda yang sebenarnya berusia 19 tahun, namun mengaku dirinya hanya 15 tahun dengan menggunakan identitas pendukung yang palsu. Biasanya pengurangan umur, serta penggantian nama, terjadi saat atlet berpindah klub. Adalah suatu yang biasa untuk atlet berpindah klub lebih dari sekali, dan perubahan umur rata-rata akan ikut berubah menurun sekitar 1-4 tahun.
Menurut Roy, ada dua faktor utama yang mendorong seorang atlet bulutangkis untuk memalsukan usianya: Pertama, penerapan sistem poin. Semakin banyak poin yang didapat berarti semakin banyak kesempatan untuk masuk ke program pelatihan nasional (Pelatnas) dan diseleksi masuk tim nasional. Hal ini memberikan tekanan yang luar biasa pada atlet, pelatih, klub, dan orang tua untuk mengebut memenangkan turnamen dan meraih poin sebanyak mungkin. Jalan pintas untuk mencapai ini adalah dengan pemalsuan usia sehingga mereka dapat bersaing dengan atlet yang berada dalam kelompok usia yang lebih muda, dengan latar belakang yang masih lemah dan belum berkembang. Seharusnya yang menjadi fokus utama bagi atlet muda adalah penguatan fundamental fisik dan jurus.
Kedua adalah kondisi dimana begitu seorang atlet mulai memenangkan turnamen dan mengumpulkan poin, mereka akan menjadi target rekrutmen yang menarik bagi klub-klub bulutangkis. Klub seperti ini sering membajak dan memperdagangkan para atlet berbakat ini dengan harga yang menarik bagi orang tua mereka. Pada keadaan seperti ini, baik secara sadar atau tidak, klub-klub dan para orang tua atlet muda ini telah mengubah status olahragawan ini menjadi sekedar sebuah barang komoditas saja. Fokus jangka panjang untuk menjadi juara dunia sudah bukan menjadi yang utama.
“Para pelatih dan klub-klub tingkat lokal dan nasional pada saat ini menerapkan dasar fondasi program pelatihan yang salah, jadi seperti piramida terbalik. Anak-anak dilatih tentang teknik dan strategi terlalu dini. Ini bukan suatu keterampilan yang harus dimiliki atau dikuasai oleh anak yang berusia 9 hingga 14 tahun. Ini bukan dasar-dasar utama yang harus dipelajari pada dasar piramida program pelatihan atau yang patut dijadikan bekal oleh seorang atlet muda yang ingin mencapai predikat professional apalagi internasional,” tambah Roy.
Kurangnya bentuk pelatihan fundamental yang tepat pada tahap awal perkembangan seorang atlet muda, akan membentuk atlet dengan tingkat kebugaran fisik yang lemah dan tidak memiliki ketahanan stamina. Ada konsekuensi lain yang sangat genting, yaitu tingginya angka cedera dan kemunduran yang dialami oleh para atlet di Pelatnas.
Menurut Roy, Pelatnas bukanlah tempat untuk melatih dan meningkatkan fitness para atlet; namun pada saat hal ini disadari, kondisinya sudah terlambat dapat memperbaiki tingkat ketahanan dan ketangkasan atlet tersebut. Sistem ini kontraproduktif bagi perkembangan bulutangkis remaja dan destruktif bagi perkembangan bulutangkis Indonesia pada umumnya. Para atlet muda bulutangkis di Indonesia seharusnya dinilai dari tingkat fitness mereka dan keterampilan dasar seperti footwork dan movement, bukan dari berapa banyak poin yang telah mereka kumpulkan. (RO/A-1)
Lanny/Siti harus mengakui keunggulan unggulan teratas asal Tiongkok, Liu Shengshu/Tan Ning.
Fajar menyebut bahwa momen-momen krusial kembali menjadi titik lemah bagi dirinya dan Fikri.
Putri harus mengakui keunggulan unggulan kedua asal Tiongkok, Wang Zhi Yi.
Putri berhasil menundukkan perlawanan dari wakil tuan rumah Tomoka Miyazaki di babak kedua.
Jafar/Felisha harus menerima kekalahan dari wakil Malaysia, Chen Tang Jie/Toh Ee Wei.
Dalam kondisi yang baru memulai kembali turnamen karena baru sembuh dari cedera, Ginting mengaku masih mencari kondisi dan suasana persaingan yang kini terasa cukup berbeda.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved