Headline
Kenaikan harga minyak dunia mungkin terjadi dalam 4-5 hari dan akan kembali normal.
Kenaikan harga minyak dunia mungkin terjadi dalam 4-5 hari dan akan kembali normal.
Presiden menargetkan Indonesia bebas dari kemiskinan pada 2045.
KONTROVERSI Pantai Pede di Labuan Bajo, Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT), dinilai memperlihatkan gejala malaise kekuasaan akut. Penilaian itu disampaikan dua putra daerah Manggarai yang saat ini menjadi peneliti di luar negeri.
Keduanya adalah Max Regus, peneliti di School of Humanities, Tilburg University, the Netherlands, dan Cypri Dale, peneliti di Institute of Social Anthropology, Bern University, Switzerland. Mereka mengirim siaran pers kepada Media Indonesia, Jumat (31/3), terkait privatisasi Pantai Pede yang mendapatkan protes luas dari masyarakat setempat.
Sebelumnya Gubernur NTT Frans Lebu Raya menyatakan status Pantai Pede di Kabupaten Manggarai Barat masih milik Pemprov dan tidak dialihkan ke pengusaha. Sesuai dengan nota kesepahaman yang diteken Pemprov NTT dan PT Sarana Investama Manggaba (SIM), di lokasi itu akan dibangun hotel bintang lima dan ruang publik yang diperuntukkan warga buat berwisata.
Bupati Manggarai Barat Agustinus Dulla juga mengatakan permintaan warga soal akses publik ke Pantai Pede telah dipenuhi investor sehingga isu privatisasi pantai dinilai tidak relevan lagi. "Ada area pantai untuk orang lokal berekreasi. Di dalam lokasi itu, PT SIM sedang membuat 30 bangunan kuliner," jelas Dulla.
Namun, menurut Max dan Cypri, perkembangan kini kasus Pantai Pede--di mana pemerintah memaksakan privatisasi pantai publik untuk jadi hotel/resort pihak swasta, di tengah aspirasi masyarakat untuk tetap mempertahankan pantai itu sebagai pantai dan ruang terbuka untuk kepentingan publik--memperlihatkan gejala malaise kekuasaan akut yang sedang menggerogoti politik dan kekuasaan di NTT dan Manggarai Barat.
Malaise kekuasaan itu semacam gejala umum dari depresi dan sakit mental dan moral yang mengindikasikan atau ada bersamaan dengan penyakit-penyakit akut lain.
Ada lima poin yang tercantum dalam siaran pers Max dan Cypri. Berikut isi selengkapnya:
Pertama, malaise kekuasaan itu berhubungan dengan paradoks kekuasaan. Gubernur NTT sudah terlalu lama berada di tampuk kekuasaan. Kekuasaan yang berada terlalu lama di genggaman akan menyebabkan depresi etis mengerikan dari kekuasaan. Kekuasaan tidak bertambah kuat dalam arti efektif mendorong transformasi sosial, politik, ekonomi berkeadilan, malahan lebih cenderung mengalami pengeroposan pada esensi fundamental keberpihakan pro-publik. Penyakit yang sama bisa mengidap pola laku kekuasaan Bupati Mabar yang sudah menggenggam dua periode dalam kekuasaan. Mereka tidak peduli dengan lalu lintas suara dan aspirasi publik.
Kedua, pro-kontra soal Pede sebetulnya dapat menjadi titik penting bagi Gubernur NTT untuk menghentikan semua bentuk kerja sama dengan investor dalam penggunaan kawasan Pede. Itu tidak dilakukan, malahan mengabaikan teriak protes dari publik; juga rekomendasi dari institusi lebih tinggi seperti semisal Kementerian Dalam negeri. (Mendagri Tjahjo Kumolo dalam surat nomor 170/3460/SJ memerintahkan Gubernur NTT untuk menyerahkan Pantai Pede kepada Pemkab Manggarai Barat--red),
Ironisnya, malaise kekuasaan ini juga mendera pemerintahan kabupaten. Pemerintah Mabar tidak pernah secara eksplisit ‘berdiri bersama rakyat’. Itu yang menyebabkan, begitu mudahnya Gubernur NTT berkelit; dan memberikan ruang bagi korporasi mengeksploitasi situasi keterbelahan ini.
Ketiga, ketika Gubernur NTT berkukuh mempertahankan keputusannya berdasarkan prosedur legal-formal yang sudah diambil, yang juga masih dipertanyakan banyak elemen, dia sedang memperlihatkan dirinya sebagai ‘mesin kekuasaan/birokrasi’ tanpa jiwa. Mesin itu bergerak tanpa panduan etika sosial politik. Tidak mendengar suara publik adalah ciri dari disposisi kekuasaan seperti ini. Dan ini salah satu lapisan yang mengandung bau anyir yang membungkus malaise kekuasaan politik.
Keempat, sikap ‘tegar tengkuk’ penguasa lokal dalam dalam konteks Pede mengungkapkan terbangunnya semacam ‘political not-working’ di tubuh para penguasa. Publik —yang sedang menyuarakan pendapat lain tentang jalan sesat pembangunan— tidak dihiraukan. Politik tidak lagi dipandang sebagai cara esensial untuk membuat keadilan menjadi pengalaman publik. Malahan penguasa lokal membela dan menjadi representasi kekuatan kapital yang mengunci dan menutup akses publik dalam ruang-ruang pembangunan.
Kelima, dalam kasus Pede Gubernur NTT dan Bupati Mabar secara faktual kehilangan legitimasi politik. Dalam kondisi malaise kekuasaan seperti ini tekanan harus diberikan secara bergelombang pada institusi-instutusi politik dan kekuasaan yang lebih tinggi; agar mereka tidak terjangkit penyakit malaise kekuasaan kiriman Gubernur NTT dan Bupati Mabar.
Aliansi Mahasiswa Manggarai (AMANG) Jakarta pada Rabu (29/3)berunjuk rasa ke Kemendagri untuk memprotes privatisasi Pantai Pede. Pada kesempatan itu Kemdendagri berjanji untuk memanggil Gubernur NTT yang tak kunjung menyerahkan Pantai Pede sebagai asset Pemkab Manggarai Barat (RO/X-2)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved