Headline
Pelaku perusakan dan penganiayaan harus diproses hukum.
Pelaku perusakan dan penganiayaan harus diproses hukum.
UDARA terasa panas menusuk kulit. Bau menyengat mencengkeram indra penciuman. Begitu kaki melangkah ke lahan seluas setengah hektare itu, tak ada lagi yang bisa dilakukan selain menyesuaikan napas. Segregation Plant milik PT Vale Indonesia Tbk di Sorowako, Kabupaten Luwu Timur, tampak seperti dunia kecil yang bergerak di antara sampah dan harapan.
Truk kontainer bak terbuka bergantian masuk, memuntahkan sampah rumah tangga dari warga dan perumahan karyawan tambang. Suara bising mesin, menandai dimulainya proses yang teliti namun rutin. Puluhan pekerja lokal berseragam merah-biru dengan helm keselamatan sigap menyambut muatan.
Dalam waktu tidak lebih dari sepuluh menit, satu truk selesai dikosongkan. Sampahnya langsung dipilah, sampah plastik, organik, anorganik, dan bahan berbahaya atau B3. “Setiap hari, sekitar 12–15 ton sampah kami proses di sini,” kata Senior Manager Operation Environment & Reclamation Segregation Area PT Vale, M Firdaus Muttaqi, Jumat (25/7).
Keringat mengalir di pelipisnya, tatapannya mengarah ke tim pemilah yang berdiri memisahkan botol kaca dari plastik dan juga besi, lalu mengangkut ke tempat pengolahan berikutnya.
Bau menyengat semakin kuat saat melangkah ke sisi kanan area. Di sanalah, plastik-plastik kering ditumpuk, dipress, lalu diikat dengan kawat. Setiap ikatan berbobot antara 16 hingga 18 kilogram.
“Sejak Januari hingga Juli 2025, sudah sembilan ton kami donasikan ke bank sampah, tidak satu pun dijual,” ungkap Firdaus.
Limbah plastik itu diberikan kepada empat bank sampah milik BUM-Des, yaitu Magani, Malili, Wasuponda, dan Desa Nikel yang berada di area operasional PT Vale. Merekalah yang kemudian menggerakkan roda ekonomi sirkular, mengubah sampah menjadi penghasilan bagi masyarakat. Sementara limbah yang tak bisa didaur ulang, seperti limbah B3, dikembalikan ke pabrik pengelola pihak ketiga.
Bukan cuma plastik yang menjadi perhatian. Di ujung fasilitas itu, berdiri bangunan sederhana, rumah bagi maggot, larva lalat Black Soldier Fly (BSF) yang jadi kunci pemrosesan limbah organik.
Aroma asam dan busuk menggulung udara saat mendekat. Tapi di balik itu, tempat ini menyimpan kehidupan. Jutaan larva menggeliat, memakan sisa makanan. Setelah kenyang, mereka berubah fungsi menjadi pakan ikan atau diolah menjadi pupuk kompos.
“Sebelum diberikan ke maggot, sampah organik ini kami cacah dulu,” terang Foreman Groundwork Segregation Plant Hery Sudarto sambil menunjukkan mesin pencacah kecil dan ember-ember berisi limbah dapur dari rumah-rumah warga yang berpartisipasi dalam program tersebut.
“Kalau hasilnya habis, berarti tandanya mereka makan dengan baik,” canda Hery sambil menunjuk ember kosong tempat larva yang baru saja dipanen.
Segregation Plant ini sejatinya sudah beroperasi sejak 2012. Namun, semangat yang menghidupinya tak pernah padam. Daya tampungnya kini mencapai 30 ton, dengan kontribusi harian sekitar 500-700 kilogram sampah hanya dari rumah-rumah warga dan karyawan.
“Ini bukan sekadar soal pengelolaan sampah,” lanjut Firdaus sambil berjalan ke area penampungan kompos. “Ini soal tanggung jawab lingkungan. Ini soal memberi nilai pada sesuatu yang tadinya dianggap tidak berguna.”
Kompos hasil fermentasi sampah organik digunakan untuk pembibitan dan disumbangkan, termasuk untuk reklamasi lahan bekas tambang.
Fokusnya, tentu bukan hanya pada pengelolaan limbah di area operasional. Sejak Desember 2024, perusahaan mendorong gaya hidup zero waste di lingkungan kerja dan permukiman karyawan melalui program emberisasi.
Lewat program ini, sisa makanan rumah tangga dipilah dan dimasukkan ke ember khusus. Setiap hari, ember dijemput untuk diolah menjadi pakan maggot atau kompos. Salah satu karyawan PT Vale, Ashadi Cahyadi, menceritakan pengalamannya saat ditemui di rumah dinasnya.
“Sampah dipilah langsung dari rumah. Sisa-sisa makanan dimasukkan ke ember khusus, lalu diolah menjadi sesuatu yang bisa digunakan kembali,” jelasnya.
Langkah ini merupakan bagian dari strategi Vale untuk mencapai target zero waste to landfill pada 2050, yakni kondisi di mana seluruh limbah, baik dari aktivitas tambang maupun domestik, tidak lagi berakhir di TPA.
“Program ini sudah mulai diterapkan bertahap kepada karyawan yang tinggal di rumah dinas, dan ke depan akan diperluas hingga ke komunitas,” ujar Rizki Pratiwi, Spesialis Environment Sustainable PT Vale.
Bagi Rizki, ini bukan sekadar pengelolaan sampah, tapi pendidikan. “Kalau di Segregation Plant, sampah dipilah oleh petugas khusus. Tapi lewat emberisasi, perusahaan mengajarkan karyawan untuk mengenal jenis sampah sejak dari rumah. Ini adalah edukasi sederhana, tapi berdampak besar,” katanya.
Tidak berhenti di situ. Sebuah inovasi hijau bernama BIONI (Biodigester Nickel) kini, juga menjadi harapan baru. Melalui program CSR, PT Vale membangun fasilitas ini untuk mengolah limbah organik menjadi biogas dan pupuk cair. Energi alternatif dari BIONI telah dimanfaatkan oleh sejumlah warga untuk memasak.
“Biasanya kami pakai LPG. Tapi sekarang dengan gas dari BIONI ini, biaya jadi jauh lebih ringan. Kami juga diberi pelatihan oleh tim CSR Vale soal penggunaannya," ” ungkap Ani, penjual makanan di Pasar Magani, Luwu Timur.
Selain biogas, BIONI memproduksi pupuk cair organik. Beberapa warga memanfaatkannya untuk kebun sayur pribadi, bahkan menjual kembali dalam kemasan sederhana.
“Fasilitas ini mampu mengolah sampah organik menjadi pupuk cair dan gas metana. Semuanya dijalankan dengan SOP ketat untuk menjamin keselamatan dan mencegah pencemaran," seru Senior Manager Strategic Environmental and Reclamation PT Vale Umar Kasmon.
Rencananya, model BIONI akan diperluas ke lokasi lain, dengan pembangunan fasilitas serupa di beberapa TPS 3R. Program ini melengkapi inisiatif PT Vale lainnya, seperti pelatihan UMKM, pengelolaan sampah berbasis masyarakat, hingga program TRAMPIL (Transformasi Ekonomi dan Mandiri Masyarakat Lestari).
Ya, di tengah udara panas dan hiruk-pikuk pemrosesan limbah, ada denyut kehidupan yang terus berdenyut. Di Sorowako, tidak ada yang sepenuhnya berakhir di tempat sampah. Karena bahkan di antara bau menyengat dan limbah yang tampak menjijikkan, ada kehidupan baru yang sedang tumbuh, dalam bentuk maggot, kompos, biogas, dan penghasilan tambahan. (LN/E-4)
Selama ini banyak petani jeruk di Desa Belantih menghadapi masalah dalam hal kualitas buah dan produktivitas.
KEMENTERIAN Pertanian memperkenalkan teknologi hidroponik dan pembuatan kompos yang dicampurkan dengan agens hayati (kom-mix hayati).
BAZNAS bersama BAZNAS Kabupaten Jember dan PT Ansaf Inti Resources meluncurkan program Balai Ternak dan Rumah Kompos di Desa Jambearum, Kecamatan Sumberjambe, Jember.
Melanjutkan program pembuatan rumah kompos ini, BCA juga akan menyelenggarakan pelatihan pengelolaan kompos selama dua bulan bagi anggota KUPS Meranti.
Dengan mengolah sampah dapur menjadi kompos maka keluarga juga dapat merasakan manfaatnya sendiri, seperti mendapatkan pupuk tanaman secara gratis.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved