Headline
Tingkat kemiskinan versi Bank Dunia semakin menjauh dari penghitungan pemerintah.
Tingkat kemiskinan versi Bank Dunia semakin menjauh dari penghitungan pemerintah.
Perluasan areal preservasi diikuti dengan keharusan bagi setiap pemegang hak untuk melepaskan hak atas tanah mereka.
PERINGATAN 20 tahun tsunami memberikan pengalaman duka di hati masyarakat Aceh. Terutama mereka yang keluarganya meninggal tertimbun reruntuhan bangunan atau tergulung ombak besar pada 26 Desember 2004 kala itu.
Dosen Hukum Adat dari USK (Universitas Syiah Kuala), Banda Aceh, Teuku Muttaqin Mansur, 45, misalnya, selalu terenyuh dan termenung sejenak bila teringat musibah besar yang merengut jiwa orangtuanya, Teuku Mansur bin Muda Gade.
Ketika ditemui di sela-sela istirahat siang itu di sebuah kedai kopi Kecamatan Pidie, Kabupaten Pidie, Provinsi Aceh, Muttaqin sempat berbagi cerita kepada Media Indonesia, Rabu (25/12). Siang itu dirinya pulang dari Banda Aceh menuju kampung kelahirannya Meunasah Mulieng, Kecamatan Meureudu, Kabupaten Pidie Jaya, dalam rangka menggelar kenduri haul ke-20 tahun kepergian ayahnya, Teuku Mansur.
"Kami ada delapan bersaudara. Sekarang hanya ada empat putra dan tiga putri. Di hari peringatan 20 tahun tsunami, kami pulang ke kampung kelahiran berkumpul bersama seraya menggelar kenduri untuk almarhum ayah meninggal terhempas gelombang tsunami 20 tahun lalu," tutur Muttaqin yang juga Ketua UPT Mata Kuliah Umum USK itu.
Dikatakan Muttaqin, kisah kepergian ayahnya itu hanyut dalam gelombang tsunami, berawal pada Kamis, 23 Desember 2004. Waktu itu sang ayah datang dari Pidie Jaya (dulu sebelum pemekaran, masih Kabupaten Pidie) ke Banda Aceh ingin berobat karena batuk-batuk. Dari Meunasah Mulieng, pedalaman Kecamatan Meureudu, ke Banda Aceh menghabiskan waktu 4 jam menumpang bus umum ke arah barat melalui jalan Nasional Aceh-Sumatra Utara.
Guna memudahkan berobat jalan di Rumah Sakit Umum Zainoel Abidin Banda Aceh (RSUZA), ayahnya tinggal bermalam di rumah kakak Muttaqin, Teuku Mukhlis di Komplek Perumahan Korea, Dusun Krueng Cut, Desa Baet, Kecamatan Baitussalam, Kabupaten Aceh Besar. Lokasinya berbatasan dengan Kota Banda Aceh atau sekitar 4 km sebelah timur RSUZA.
Lalu pada Sabtu, 25 Desember 2004, Muttaqin sempat menjenguk orangtuanya yang baru dua hari datang dari kampung. Mulai sore hingga tengah malam saling mengobrol terkait keadaan di kampung dan kondisi di perantauan Banda Aceh. Setelah cukup lama berdiskusi kecil, Teuku Muttaqin pun pulang ke tempat tinggalnya di Asrama Pidie di Kampung Mulia, Kecamatan Kuta Alam, Kota Banda Aceh, berjarak sekitar 5 km sebelah barat.
Sedangkan ayahnya ditemani oleh adik Muttaqin, Multazam sebagaimana dua malam sebelumnya.
Muttaqin bertutur, esok pagi Minggu, 26 Desember 2004, sekitar pukul 08.00 WIB terjadilah gempa dahsyat 9,3 pada Skala Richter (SR). Suasana Kota Banda Aceh dan sekitarnya berubah panik. Keceriaan dan suasana hari libur Minggu pagi di Banda Aceh dan sekitarnya berubah menjadi kacau balau.
Sang ayah, Teuku Mansur, yang baru selesai sarapan pagi menyuruh Multazam untuk membeli silet cukur. Multazam pun pergi ke arah Kota Banda Aceh. Setiba di simpang mesra sekitar 1 km, dari Dusun Krueng Cut, suara raungan mobil ambulans cukup nyaring dan melaju cukup kencang. Ternyata mobil rumah sakit itu lari dari kejaran air bah tsunami sekitar 30 menit setelah gempa terjadi. Multazam pun tidak tinggal diam, langsung lari mencari lokasi aman. Beberapa saat setelah gempa bumi, Muttaqin yang sedang besama seorang temannya Juliadi (asal Seunudon Kabupaten Aceh Utara) menyusuri pagi hari berkeliling Kota Banda Aceh. Keduanya berkeliling menggunakan sepeda motor Astrea Star berwarna merah.
Di pusat Ibu Kota Provinsi Aceh itu mereka melihat Hotel Kuala Tripa, super market Pante Pirak, dan banyak toko serta gedung lainnya rubuh rata dengan tanah. "Setiba di kawasan Lampaseh Kota terlihat seorang perempuan sambil lari meneriakkan air laut naik, air laut naik, air laut naik. Begitu melihat arus sungai kecil di tempat itu melaju sangat kencang, saya pun tancap gas melewati pinggiran lapang Blang Padang yang ramai orang sedang lari-lari pagi," tutur Muttaqin.
Lelaki kelahiran 5 September 1979 itu bersama Juliadi setiba di Simpang Jam (sebelah timur Museum Tsunami sekarang) sempat bingung harus lari ke mana lagi agar jangan sampai terjebak muntahan air laut itu. Saat itulah terlihat manusia saling berladi menyelamatkan diri tanpa peduli orang lain terjatuh atau saling tabrakan. Tidak lagi menghiraukan ke belakang dengan pemandangan gelombang seperti gunung menjulang menghantam Kuta Raja Banda Aceh. Muttaqin dengan memboncengi Juliadi sahabat dekatnya langsung keluar kota menuju pulang ke Meureudu berjarak sekitar 156 km arah timur.
"Dalam perjalanan penuh haru dan sempat habis bahkan bakar itulah saya teringat bagaimana kabar sang ayah, adik Multazam, abang Muklis, dan kakak ipar Salbiah Lubis yang rumah tinggal mereka di Krueng Cut, hanya terpaut sekitar 800 meter dari bibir pantai laut Banda Aceh," kenang Teuku Muttaqin.
Setiba di rumah kampung kelahirannya Meunasah Meulieng, Meureudu, Pidie Jaya, siang menjelang sore itu Muttaqin yang kondisinya lemah-lunglai itu harus menenangkan sang ibu yang menanyakan kabar ayah di Banda Aceh. Tidak ada pilihan lain, Muttaqin harus membohongi bahwa ayah baik-baik saja di tempat Abang Mukhlis.
Setelah makan sore sekedar menghilangkan lapar, Muttaqin ditemani Juliadi harus kembali lagi ke Banda Aceh. Dia harus mencari kabar dan keberadaan ayahnya. Dalam perjalanan malam penuh risiko melewati jalur nasional pegunungan Seulawah, ia selalu teringat sang ayah dan keluarga besar di Banda Aceh yang sudah luluh lantak.
Setiba di Lambaro dan hendak memasuki Kota Banda Aceh, Muttaqin mulai mengais tumpukan-tumpukan ratusan mangat korban tsunami. Puluhan tumpukan sampah sepanjang jalan Lambaro ke Banda Aceh, tidak satupun ditemukan jasad ayahnya, Teuku Mansur. Siapa saja kerabat, kenalan, rekan, dan saudara keluarga, Muttaqin tidak lupa menanyakan kabar sang ayah atau menemukan ayahnya.
Di tengah kondisi tububuh sudah cukup lelah, Muttaqin tetap mengais seperti menghitung ribuan mayat anak manusia yang tersangkut, tertanam dalam lumpur atau bercampur dengan kayu-kayu terbawa arus bah raksasa tsunami. Tujuan tak lain adalah mencari sang ayah.
Kala itu pencarian sedikit lega karena ia berhasil menemukan adik, kakak, dan istri kakaknya dalam kondisi selamat walau dengan tubuh penuh luka. Merekapun mendapat pertolongan dan dibawa berobat oleh seoranh sahabat. Sedangkan Multazam yang nampak masih lebih bugar, ikut berdua Teuku Munttaqin mencari keberadaan dan kondisi kesehatan ayah mereka.
Dikatakan Muttaqin, sesuai penuturan Mukhlis dan Salniah, saat gelombang pertama tsunami menerjang, ayahnya, Mukhlis, dan Salbiah sempat berlindung di balik tembok dinding belakang rumah. Lalu mereka berhamburan dihempas gelombang semakin besar.
"Karena hempasan cukup deras, ayah sempat mengatakan kepada Bang Mukhlis, kita harus nafsi-nafsi berjuang menyelamatkan diri," jelas Muttaqin mengutip abangnya Teuku Muklis.
Menurut Muttaqin, ayah mereka, Teuku Mansur, mungkin mengira bencana besar itu adalah tibanya hari kiamat. Sehingga harus masing-masing memikirkan nasib sendiri. Masih mengutip penuturan Teuku Mukhlis, ayah dan kakak iparnya, Salbiah, sempat tersangkut di atas pohon kayu ketika puncak gelombang menghantam mereka. Setelah itu semuanya menghilang ditelan ombak. Tak mampu menduga siapa yang meninggal dan siapa saja behasil selamat dari gelombang tinggi berkisar 15 hingga 50 meter itu.
Hari kedua, pada Senin (27/12) itu ibu mereka juga sudah tiba di Banda Aceh untuk mencari tahu keadaan anggota keluarga yang hilang. Bersama sanak keluarga mereka, juga orang lain sudah saling mencari dan menukar informasi terkait kondisi lokasi pencarian.
Di sebuah tumpukan beragam kayu bekas bangunan terbawa gelombang tsunami, tampak beberapa manyat terlungkup dan terlentang tidak teratur. Muttaqin pun mendekati dan tidak bosan mengais demi terlihat wajah-wajah para syuhada bencana alam tersebut. Lokasi itu di sekitar asrama mahasiswi Universitas Syiah Kuala (USK) Darussalam, Banda Aceh. Itu berjarak sekitar 800 meter sebelah selatan rumah tempat tinggal mereka di komplek Korea, Dusun Krueng Cut, Baitussalam. Satu di antara jenazah yang telungkup berkaus singlet warna putih dan bercelana panjang itu adalah Sang ayah Teuku Mansur bin Muda Gade. Wajahnya tampak cerah sebagaimana selama hidupnya.
Muttaqin dan Mutazam dan dibantu orang lain berhasil mengevakuasi jenazah sang ayah dari tumpukan kayu dengan menggunakan sebuah kasur bekas terbawa gelombang.
Siang sekitar pukul 12.00 WIB pada 27 Desember 2004 itu, mereka pun meminjamkan sebuah mobil warga sekitar untuk membawa pulang jenazah. Karena tidak ada supir khusus, Muttaqin sendiri yang menyetir. Jarak tempuh yang biasanya 4 jam menjadi 5 jam perjalanan Banda Aceh-Pidie Jaya.
"Malam itu juga kami laksanakan proses fardhu kifayah hingga pemakaman di kampung halaman Meunasah Meulieng, Meureudu," tutur Muttaqin.
Dikatakan Muttaqin, selain ayah tercintanya yang meninggal terbawa arus tsunami, ada sekitar 200 anggota kerabat atau keluarga besar mereka juga berpulang saat itu. Lalu 15 orang di antaranya adalah kerabat dekat.
Mahasiswa Kedokteran USK, Ghina Zuhaira, kepada Media Indonesia, Kamis (26/12) mengatakan ada beberapa alasan tingginya korban jiwa akibat tsunami berlokasi pada kedalaman 30 km di bawah laut antara Pulau Simeulue dan daratan Pulau Sumatera itu. Antara lain, banyak warga kurang mememahami mitigasi bencana karena kurangnya sosialisasi oleh pemerintah dan minim fasilitas pencegahan korban atau krisis tempat menyelamatkan diri. Padahal wilayah Aceh seperti di Kepulauan Simeulue sering terjadi gempa dan tsunami yang menurut istilah lokal disebut smong.
"Memang ini musibah, tapi dengan ilmu pengetahuan para pakar yang ada bisa kita berusaha pencegahan korban jiwa. Bukan berarti kita pasrah tanpa usaha. Kalau begitu sungguh lucu pemahamannya," tutur Ghina.
Mahasiswi semester akhir itu juga mencontohkan setelah fenomena gempa 9,3 SR dan tsunami besar yang menghancurkan bangunan dan infrastruktur fisik, hampir tidak ada upaya efektif untuk menghindari korban jiwa yang lebih memadai. Lebih parah lagi, apa yang telah dibangun BRR malah terbiarkan tidak berguna.
"Selalu ada alasan kurang dana. Padahal itu demi keselamatan dan ilmu pengetahuan masa depan," tambah Ghina. (MR/J-3)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved