Headline
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
SETELAH Bell tanda waktu istirahat berakhir sekitar pukul 10.30 Wib, anak-anak MIN (Madarasah Ibtidaiyah Negeri) 44, Kabupaten Pidie, Provinsi Aceh itu kembali masuk kelas masing-masing. Begitu duduk di bangku belajar, mata dan tangan mereka tertuju pada botol air.
Sebagian botol khusus berisi air minum itu, sudah dari pagi diletakkan di atas meja belajar. Sebagian lainnya masih tersimpan dalam kantung samping tas ransel pungung terletak di atas bangku tempat duduk.
Didera dahaga setelah 30 menit bermain dan berlarian sesama teman, siswa-siswi itupun tidak sabar meneguk bekal air putih bawaan dari rumah masing-masing. Dalam sekejap saja raut wajah nan polos itu berubah berseri kembali.
Menariknya semua wadah air minum yang mereka pakai adalah botol permanen khusus tempat simpan air. Bukan botol plastik sekali pakai yang kemudian dibuang dan menjadi sampah berbahaya lingkungan hidup.
Nilai positif lainnya, padal MIN 44 Pidie itu berada jauh dari hiruk pikuk perkotaan. Alamatnya persis di pinggiran jalur Beureuneuen -Tangse, KM 7, Desa Alue, Kecamatan Titeue, Kabupaten Pidie, Provinsi Aceh.
"Budaya tidak memakai botol platik sekali pakai dan tidak mengonsumsi air terkandung pewarna atau pemanis buatan kita biasakan kepada anak-anak. Di anjurkan juga kepada orang tua murid supaya membekali jajanan sehat untuk anak-anak. Begitu juga penjual jajanan di kantin sekolah setempat, tidak menyediakan minuman botol sekali pakai dan makanan kemasan sampah tidak mudah terurai selama 10 hingga 450 tahun itu. Meskipun sulit terlaksana total, tapi cukup lumayan keberhasilannya" tutur Tarmizi, Kepala MIN 44 Pidie, pada Sabtu (30/11).
Tarmizi mengontrol sendiri kondisi kebersihan kelas dan pekarangan sekolah itu. Bahkan para penjual jajanan di kantin selalu dia ingatkan jangan menjual makan berpengawet, minuman pemanis buatan dan pewarna berbahaya.
Pekarangan sekolah itu seluas sekitar 30 X 30 meter, terlihat indah dan asri bebas dari tumpukan sampah membusuk atau botol plastik bekas. Hanya saja ada beberapa kelas yang agak sempit karena siswanya lumayan banyak.
Ghina Zuhaira, mahasiswa smester akhir Fakultas Kedokteran USK (Universitas Syiah Kuala) Banda Aceh, kepada Media Indonesia, Minggu (1/12) mengatakan, pembatasan pemakaian botol atau wadah plastik sekali pakai yang dilakukan jajaran Kantor Kementerian Agama Kabupaten Pidie itu Khususnya MIN 44 Pidie itu menjadi contoh untuk instansi lain.
Program positif dan membangun tersebut perlu segera diterapkan oleh siapa pun dan dimana saja. Pasalnya botol plastik sekali pakai itu biasanya mengandung bahan berbahaya antimon trioksida (CAS 1309-64-) dan bahan logam berat lainnya.
Sekolah-sekolah dan lembaga pendidikan di semua jenjang perlu secepatnya merubah kebiasaan buruk terkait pengelolaan sampah palastik dan kebersihan lingkungan. Bila perlu dijadikan syarat kelulusan siswa atau mahasiswa. "Apa salahnya kalau dijadikan nilai tambah atau standardisasi peningkatan akreditasi sebuah lembaga pendidikan dan lainnya" kata Ghina.
Karena produksi sampah di negeri ini, umumnya sampah berbahan plastik sudah mencapai kondisi darurat dan telah menjadi ancaman besar di Indonesia bahkan sampai merusak lingkungan negara lain. Apalagi sampah plastik itu, sulit terurai hingga 450 tahun.
Ini penting untuk memelihara kesehatan generasi bangsa dan mencegah pencemaran alam sekitar. Apalagi akibat salah urus sampah bisa mengundang kepunahan makluk predator hama penyakit. Padahal predator itu siklus kehidupannya memangsa bakteri berbahaya.
Dikatakan Ghina, sebuah study dilakukan oleh Travis P. Wagner pada 2017, menyebutkan ada 5 triliun sampah kantong plastik tiap tahun ter produksi dari seluruh dunia. Baru 14% sampah di dunia berhasil didaur ulang. Selebihnya menjadi ancaman lingkungan hidup.
Lalu berdasarkan data Making Oceans Plastic Free pada 2017, sekitar 182,7 miliar kantong plastik digunakan di Indonesia per tahun. Dari jumlah itu, bobot total sampah plastik di negara tercinta ini mencapai 1.278.900 ton per tahun. "Ini jumlah produksi sampah plastik sangat mengkhawatirkan dari kita," tutur Ghina.
Menurut Ghina, sekitar 511.560 ton sampah kantong palastik bekas digunakan masyarakat Indonesia, hanyut ke laut bebas. Sekitar 16% sampah plastik yang ada di laut biru berasal dari Indonesia.
"Kalau terus dibiarkan, tidak segera diatasi maka populasi ikan terus menyusut. Ini sesuai yang ditemukan dalam perut-perut ikan yang mati di laut ternyata setelah dibedah ada pipet (selang penyedot) plastik dalam perutnya. Dikuatirkan tahun 2050 jumlah sampah di laut lebih banyak dibandingkan ikan," jelas Ghina yang masuk di Fakultas Kedokteran lewat jalur undangan itu.
Alumni SMA Sukma Bangsa Pidie itu juga mengatakan, berdasarkan hasil penelitian Jenna R. Jambeck bersama rekan-rekannya pada 2015, Indonesia merupakan penyumbang sampah plastik terbesar ke-2 di dunia setelah Tiongkok.
Ghina menyambut baik upaya jajaran Kantor Kementerian Agama Kabupaten Pidie, mengajak semua anak didik mulai tingkat dasar hingga menengah atas untuk mengganti botol air plastik sekali pakai dengan menggunakan wadah bebas bahan berbahaya seperti antimon trioksida (CAS 1309-64-) dan bahan logam berat lainnya.
Sebelumnya, Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten Pidie, Abdullah AR, kepada Media Indonesia, mengatakan pihaknya akan memperluas penggunaan wadah air minum dan tempat bahan makanan bebas bahan plastik berbahaya. Lalu akan menggalakkan penggunaan bahan tempat makanan yang tidak melahirkan sampah sulit mengurai. "Nanti akan kita launching secara resmi. Ini memang sudah lama dianjurkan, namun belum sepenuhnya berhasil" tutur Abdullah AR. (N-2)
Kenduri kue ikonik tradisi merayakan Isra Mikraj di Aceh itu di ajarkan oleh Dewan guru untuk ratusan siswa itu dilaksanakan di komplek MIN 44.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved