Headline
Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.
Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.
Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.
BENCANA banjir bandang yang terjadi di Garut merupakan salah satu potret buruknya pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) Cimanuk. Bahkan, bukan hanya Cimanuk, kerusakan sejumlah DAS di Tanah Air juga meningkat.
Saat ini, dari 450 DAS di Indonesia, 118 di antaranya dalam kondisi kritis. Jika pada 1984 hanya terdapat 22 DAS kritis dan super kritis, pada 1992 jumlahnya meningkat menjadi 29 DAS. Dua tahun kemudian, jumhanya naik menjadi 39 DAS hingga 2007 menjadi sekitar 80 DAS yang rusak super kritis dan kritis. DAS Cimanuk sudah tergolong kritis sejak 1984.
"Kondisinya makin rusak akibat intervensi manusia yang makin masif merusak DAS," ujar Sutopo Purwo Nugroho,
Peneliti Utama Hidrologi dan Pengelolaan DAS di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), dalam rilisnya yang diterima Jumat (23/9).
Menurut Sutopo yang juga Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), upaya pengelolaan DAS terus dilakukan. Namun ternyata hasilnya belum signifikan. Buktinya degradasi DAS juga terus menigkat. Dampak yang ditimbulkan pun terus meningkat. Banjir, longsor, erosi, sedimentasi dan daya dukung serta daya tampung lingkungan terlampaui.
"Ada sesuatu yang salah, namun selalu tidak ada solusi permanen dan jangka panjang. Saat terjadi bencana semua pihak, baru ingat bahwa bencana timbul disebabkan kerusakan DAS," ujarnya.
Dia mengungkapkan sesungguhnya penanganan masalah DAS sudah sejak 1969 dilakukan, yaitu dengan Proyek Penghijauan Departemen Pertanian 001 yang kemudian dilanjutkan pada t1972–1978 dengan proyek Upper Solo Watershed Management and Upland Development Project bekerjasama dengan FAO untuk memformulasikan sistem pengelolaan DAS. Hasil proyek tersebut banyak diadopsi untuk proyek pengelolaan DAS lainnya.
Ciri khas dari pengelolaan DAS tersebut adalah mengedepankan aspek fisik, khususnya dengan membangun terasering yang padat tenaga kerja dan mahal. Salah satu sumber kegagalan pengelolaan DAS adalah tidak adanya pemeliharaannya setelah proyek berakhir.
"Pemeliharaan teras secara terus menerus tanpa subsidi setelah proyek berakhir tidak dapat dilakukan oleh petani, khususnya petani lahan kering karena besarnya biaya yang diperlukan. Akibatnya proyek tersebut tidak berkelanjutan dan akhirnya kurang efektif," kata Sutopo. OL-2
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved