SEKOLAH Bisnis dan Manajemen Institut Teknologi Bandung (SBM-ITB)
menyelenggarakan bedah buku berjudul "Transfer Teknologi untuk Inovasi:
dari Riset ke Industri".
Acara ini dihadiri para penulisnya, yakni Eko Agus Prasetio, Dedy Sushandoyo, dan Uruqul Nadhif Dzakiy. Ketiganya merupakan peneliti di Management of Technology Laboratory (MoT Lab) SBM-ITB.
Acara ini dibuka oleh Prof Pulung Nurprasetio, Plt Wakil Dekan Sumber Daya SBM-ITB. Panitia juga menghadirkan dua narasumber lainnya, yakni Ibnu Susilo, Founder & CEO FIN Komodo dan Ketua LPIK-ITB Joko Saerwono.
"Diharapkan buku ini menjadi the greater good untuk masa depan dan juga dapat menciptakan efek domino," ujar Pulung Nurprasetio.
Di awal acara, ke tiga penulis buku secara bergantian memberikan paparan singkat terkait gambaran buku.
Penulis pertama, Eko Agus Prasetio, memberikan paparan terkait urgensi
transfer teknologi untuk inovasi, dilanjutkan dengan Uruqul Nadhif yang
memberikan penjelasan tentang bagaimana inisiasi transfer teknologi ini
dijalankan di Indonesia dengan mengangkat beberapa studi kasus di
Indonesia seperti FIN Komodo, Katalis Merah Putih, Vent-I, mikro kapsul, dan pengembangan KF-X/IF-X.
Terakhir, Dedy Sushandoyo memberikan paparan terkait pelajaran yang dapat diambil (lesson-learned) dari kisah transfer teknologi dari riset ke industri.
Untuk publik
Pembicara pertama, Eko Agus Prasetio, menjelaskan gambaran buku. Ide buku ini disusun sebelum pandemi dan dbuat untuk publik. "Di buku ini kita gambarkan studi kasus bervariasi mulai dari transfer teknologi
yang dilakukan secara in-house oleh industri, transfer teknologi untuk
penguatan institusi, dan teknologi transfer yang dilakukan oleh
universitas," jelasnya.
Dia sengaja mengambil tiga kasus transfer teknologi dari beberapa kanal baik yang berasal dari industri yang dikembangkan secara
in-house, transfer teknologi yang dilakukan untuk penguatan institusi,
atau transfer teknologi yang dilakukan universitas.
Meskipun demikian, kata Eko, buku ini masih memiliki pekerjaan rumah
dalam penyempurnaan kontennya yaitu dengan membentuk sebuah kerangka
tentang pola transfer teknologi dari tiga jenis kanal tersebut. Buku ini belum sampai ke tahapan tersebut karena pertimbangan waktu pengerjaan.
"Kami masih punya PR untuk menyempurnakan buku ini dengan pengembangan
kerangka transfer teknologi dari pengembangan in-house, teknologi yang
dikembangkan universitas, dan advance engineering," ucapnya.
Proyek pengembangan
Usai sesi paparan dari panulis, acara dilanjutkan dengan sesi sharing
dari Founder dan CEO FIN Komodo, Ibnu Susilo. FIN Komodo merupakan
perusahaan otomotif lokal berlokasi di Kota Cimahi, Jawa Barat, yang memproduksi mobil off-road.
Dalam paparannya Ibnu Susilo mengungkapkan bahwa ide pengembangan fin komodo ini dilatarbelakangi oleh ide untuk menghubungkan desa melalui pengembangan kendaraan yang setangguh jeep dan senyaman sedan.
Di awal pengembangan, dia mengungkapkan bahwa di masa awal ini susah untuk mendapatkan pembiayaan dari Bank di mana pada saat itu ditolak. Beruntung, ia mendapatkan projek yang bisa membantu pendanaan awal.
"Untuk mendanai awal pengembangan purwarupa, saya mengerkakan projek
pengembangan bagian pesawat di Malaysia. Modal itulah yang membantu di
masa-masa awal pengembangan FIN Komodo," terangnya.
Ibnu mengatakan bahwa hal penting dalam pengembangan industri adalah
komponen brainware yang terletak di manusianya. Makanya di awal, Ibnu
melalui FIN membina sampai puluhan UKM guna dapat menyuplai pengembangan FIN komodo sampai tahapan produksi.
"Saat ini perusahaan ini sudah berusia 17 tahun di mana mobil yang
dikembangkan sudah memasuki generasi kelima sejak 2005 pertama kali
dikembangkan. Pengembangan industri berbasis teknologi terletak pada
orangnya atau brainware-nya," tambahnya.
Sementara itu, Joko Sarwono, yang juga Ketua LPIK ITB menceritakan tentang bagaimana tantangan pengembangan riset dan inovasi
di kampus dengan mengambil best practice dari LPIK.
Ia mengungkapkan bahwa LPIK menerapkan 3 kefokusan yaitu riset inovasi yang diukur dari tingkat kematangan teknologi (Technology Readiness Level-TRL), pengembangan kewirausahaan, dan kantor transfer teknologi (Technology Transfer Office-TTO).
Joko mengutarakan hambattan inovasi di perguruan tinggi yaitu di sisi terlalu fokus pada kuantitas dan regulasi yang tidak mendukung.
"Hambatan inovasi di Perguruan Tinggi salah satu diakibatkan karena
ukuran inovasi masih terbatas pada KPI (Key Performance Index) di
kuantitas. Selain itu juga di regulasi yang belum berpihak. Sebagai
contoh ITB telah mengembangkan mobil listrik sejak 2010 namun sampai saat ini belum bisa dikatakan behasil karena dukungan seperti regulasi yang belum cukup," ungkapnya. (N-2)