PANDEMI covid-19 dan imbas kenaikan tarif yang berlaku pada 2022 membuat
kinerja industri rokok kecil di Malang, Jawa Timur, terkontraksi sekitar
30%.
"Karena itu, pemerintah diminta tidak mengubah nominal dan struktur
tarif pada 2023," tegas Ketua Harian Forum Masyarakat Industri Rokok
Seluruh Indonesia (Formasi) Heri Susianto di Malang, Rabu (17/8).
Heri menjelaskan penurunan produksi kian membuat mereka semakin
terpuruk. Daya beli masyarakat pun belum pulih lantaran dampak kenaikan
tarif cukai.
Keadaan berat itu diperparah dengan pasar terdistorsi oleh peredaran
rokok secara ilegal yang menyalahi ketentuan cukai.
"Ada anggota kami yang penjualan produknya turun hingga 90% di pasar
Kalimantan," katanya.
Untuk itu, Formasi minta pemerintah tidak menaikkan struktur dan tarif
cukai rokok setidaknya tiga tahun ke depan. Pertimbangannya selain
pemulihan ekonomi masih berlangsung juga mencegah kegaduhan di tahun
politik.
Menurut Heri, dengan kondisi usaha yang aman dan kondusif, ekonomi akan
cepat pulih. Dalam konteks ini, Formasi memberikan masukan, pemerintah
bisa meningkatkan penerimaan negara dengan memperketat pengawasan
terhadap peredaran rokok yang melanggar ketentuan cukai.
Selanjutnya, pemerintah didorong mengeluarkan kebijakan penerapan harga
jual eceran (HJE) rokok 100% berlaku nasional. Sebab, ketentuan saat ini
masih membolehkan pabrikan menjual rokok 85% dari HJE di 20 kota di
wilayah pengawasan Kanwil Bea dan Cukai. Hal itu dinilai tidak adil
karena menggerus pasar industri kecil rokok di wilayah tersebut.
Adapun cara lain agar penerimaan tinggi, pemerintah perlu memperluas
kriteria barang kena cukai (BKC). Dengan begitu, upaya peningkatan
penerimaan cukai tidak selalu bertumpu pada penerimaan cukai IHT. (N-2)