Headline

Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.

Fokus

Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.

Hukuman Bagi Bocah Perundung di Tasikmalaya Harus Berjalan

Atalya Puspa
21/7/2022 18:21
Hukuman Bagi Bocah Perundung di Tasikmalaya Harus Berjalan
Ilustrasi.(Medcom.id/ Mohammad Rizal)

PERISTIWA seorang bocah sekolah dasar yang meninggal dunia akibat depresi usai dipaksa kawan-kawannya menyetubuhi kucing mendapatkan banyak perhatian publik. Terlebih, pelaku kejahatan juga merupakan anak-anak. 

Melihat hal itu, Psikolog Forensik Reza Indragiri menilai, meskipun pelaku masih berusia anak-anak, namun penegakan hukum harus tetap berjalan. Pasalnya, anak-anak itu diduga melakukan empat tindak pidana, yakni kejahatan seksual, kekerasan fisik, penganiayaan yang mengakibatkan orang meninggal dunia dan penganiayaan terhadap satwa. 

Baca juga: KPAI Tasikmalaya Laporkan Kasus Perundungan Tewaskan Seorang Bocah

"Setara dengan perbuatan mereka, bawa para pelaku yang berusia anak-anak itu ke proses hukum. Jangan diversi. Harus litigasi. Orang tua mereka juga harus hadir pada setiap tahap proses litigasi tersebut," kata Reza saat dihubungi, Kamis (21/7). 

Reza menilai, kasus yang terjadi di Tasikmalaya itu merupakan kejadian serius yang tak bisa ditangani secara main-main. Ia mengungkapkan, kelak, andai anak-anak itu divonis bersalah, harus diterapkan kombinasi restorative justice dan incapacitation. Pelaku harus juga dididik, membayar ganti rugi kepada korban dan dimasukkan ke bui. 

"Itu ekspektasi saya. Saya terus terang tak yakin bahwa mengembalikan anak-anak itu ke rumahnya dan membina mereka selama enam bulan akan efektif," beber Reza. 

"Tapi UU Sistem Peradilan Pidana Anak sendiri boleh jadi tidak menyediakan jalan yang melampaui hukum. So, revisilah UU SPPA," ucap dia. 

Dihubungi terpisah, Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Maria Advianti mengungkapkan, berdasarkan catatan KPAI kasus kekerasan seksual pada anak di 2021 mencapai 7.004 kasus atau 58,6% dari kasus kekerasan pada anak. Adapun, anak yang menjadi pelaku kekerasan seksual baik dari individu atau kelompok, dinilainya patut menjadi perhatian khusus terutama dari sisi kesehatan mental. 

"Tindakan pencegahan idealnya dilakukan ketika anak menunjukkan gejala penyimpangan seksual seperti sering menonton pornografi, senang menyendiri sambil menonton gadget, ketika berbicara banyak mengungkapkan cerita atau istilah seksual, sering melakukan pelecehan seksual ringan terhadap anak lain baik lawan jenis maupun sesama jenis, impulsif, pernah menjadi korban kekerasan atau kekerasan seksual serta tumbuh dalam lingkungan dengan norma dan moral yang menyimpang," jelas Maria. 

Dalam hal ini, Maria melihat orang tua dan lingkungan seringkali tidak aware dengan gejala kelainan seksual pada anak dan terlambat mencegah, sehingga penyimpangan seksual anak berkembang lebih jauh. 

Pada titik tersebut, lanjutnya, risiko anak menjadi pelaku kekerasan seksual lebih besar, dan berpotensi merugikan dirinya serta orang lain. 

"Oleh karena itu, mengenal gejala penyimpangan seksual sejak dini menjadi sangat penting. (OL-6)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Astri Novaria
Berita Lainnya