Akademisi: Pembangunan Desa Solusi Atasi Masalah Urbanisasi

Apul Iskandar
10/5/2022 23:47
Akademisi: Pembangunan Desa Solusi Atasi Masalah Urbanisasi
Dr Robert Tua Siregar PhD, Specialist Development Planning Area.(MI/Apul Iskandar)

AKADEMISI Dr. Robert Tua Siregar Ph.D. Specialist Development Planning Area mengungkapkan masalah urbanisasi sampai saat ini masih merupakan salah satu masalah sosial yang menjadi perhatian serius bagi beberapa wilayah kota besar di Indonesia. Persebaran penduduk yang tidak merata antara desa dan kota menimbulkan dampak sosial yang cukup memadai.

"Pemerintah melalui Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Menakertrans) Muhaimin Iskandar memperkirakan, arus urbanisasi atau perpindahan penduduk dari desa ke kota pasca-Lebaran 2013 mencapai satu juta orang. Selain Jakarta yang menjadi tujuan utama urbanisasi, kota-kota besar lain di Indonesia Bandung , Surabaya, Semarang, Medan, dan Batam, juga menjadi tujuan urbanisasi saat ini," kata Robert kepada Media Indonesia yang juga sebagai Kepala Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Kota Pematangsiantar, Sumatra Utara, Senin ( 9/5).

Fenomena urbanisasi pasca lebaran sebut Robert masih akan terus ada meski jika nantinya kota-kota besar tidak lagi menjadi ibu kota negara.

"Munculnya niat untuk pindah dari desa ke kota, umumnya sangat dipengaruhi oleh ajakan, kesalahan menerima informasi media massa, impian pribadi, terdesak kebutuhan ekonomi, dan lain sebagainya," ujar Robert.

Namun demikian, menurutnya yang juga menjabat sebagai Kaprodi Magister Ilmu Manajemen STIE Sultan Agung ini,
penarik urbanisasi yang paling kuat adalah ajakan yang biasanya disertai dengan janji-janji semu. "Ajakan ini dapat berasal dari seseorang yang mudik ke kampung halaman pada Hari Raya Idul Fitri," ungkapnya.

Hal ini, kata Robert, dilakukan dengan memamerkan uang dan barang yang dibawanya dari kota. "Bahkan tidak jarang mereka suka menceritakan tentang kehidupan kota yang megah, gemerlap, dan mudah mendapatkan uang. Pada akhirnya orang yang mendengarkan akan terkesima," jelas Robert. 

Menurut Robert ada tiga alasan yang menjadi penyebab jumlah orang di kota-kota besar dari arus balik lebih banyak dari arus mudik.

Orang yang mudik umumnya akan menceritakan atau menceritakan tentang 'keberhasilan' dan kehidupan di kota besar. Sehingga, ini akan menarik bagi yang masih di kampung. Lalu orang yang baru pertama kali ke kota besar biasanya akan mencari koneksi atau kolega untuk tempat tinggal beberapa saat. Hal itu diwujudkan dengan meminta kerabat atau tetangga yang telah mapan bermukim di kota-kota besar. Kemudian saat lebaran biasanya juga dijadikan momentum untuk melakukan beberapa perubahan dalam hidup, termasuk mencari kerja," jelasnya.

Masyarakat yang pulang kampung ketika Lebaran, kata Robert, kini telah banyak yang kembali ke tempat kerjanya. Tak jarang mereka khususnya dari kalangan menengah ke bawah membawa serta kawan dari kampung halaman untuk bekerja di kota-kota besar.

Fenomena seperti ini menjadi kebiasaan masyarakat kita saban tahunnya. Akibatnya pasca Lebaran arus urbanisasi semakin meningkat. Sebagian besar tujuan mereka pergi ke kota atau ke daerah yang lebih potensial dari segi ekonomi untuk memperbaiki perekonomian keluarga.

"Anggapan daerah kota lebih mapan dan maju secara ekonomi masih menjadi asumsi mayoritas masyarakat. Bahkan dari mereka tidak peduli apakah sumber daya yang dimiliki mencukupi atau sesuai dengan lahan tenaga pekerjaan yang dimiliki atau tidak. Yang penting di benak mereka berangkat dan terlebih dahulu menumpang di tempat saudara atau karib yang mengajak serta," ujarnya.

Tradisi merantau ke kota-kota besar, ungkapnya, sudah berlangsung sejak masa Hindia Belanda. Tradisi ini semakin meningkat ketika awal abad ke-20. "Terutama pas kota-kota besar muncul dan industrialisasi meningkat," imbuhnya.

"Dari beberapa referensi sejak zaman Belanda di Indonesia, pembangunan terpusat di kota-kota, terutama di Batavia atau kota besar. Oleh sebab itu, aktivitas ekonomi pun juga ikut terpusat," ujarnya.

Akibatnya, banyak orang berpikir, jika ingin maju, katanya, harus pergi ke ibu kota.Karena model pembangunan yang sentralistik itulah desa tidak menjadi ruang uang, tapi juga menjadi sesuatu yang sifatnya ketinggalan.

"Jadi, kalau mau maju ya pergi ke kota. Perlunya penguatan pembangungan industri desa. Pembangunan desa dianggap menjadi salah satu solusi untuk mengatasi masalah urbanisasi yang kerap terjadi setelah perayaan hari raya Idul Fitri," bebernya.

Hal itu terutama untuk mengatasi masalah pada tahun ini. Selama kebijakannya masih belum berpihak di desa dan merata, mendahulukan industri di kota besar, maka urbanisasi ini akan terus terjadi. Maka solusinya adalah membangun desa, membangun kota satelit di perdesaan, keinginan atau niat warga desa untuk melakukan urbanisasi tidak bisa karena itu hak dasar mereka untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik.
Itu tidak bisa besar, tapi seleksi alam yang terjadi, dalam artian apakah dia akan bertahan atau menyerah di kota. Kalau dia memiliki skill yang mumpuni maka akan bertahan, tapi kalau tidak, dia akan pulang lagi,

Selain itu, menurut dia, urbanisasi yang terjadi pasca-lebaran karena tuntutan ekonomi yang mendesak bagi warga di perdesaan. Selama ini warga di desa melihat mengapa pembangunan itu hanya berfokus di kota besar atau kawasan industrian seperti KIM dan kawasan lainnya, sementara di tempat mereka tidak terjadi.

Upaya inspeksi mendadak (sidak) yang dilakukan dinas terkait untuk mencegah terjadinya urabanisasi pasca-lebaran merupakan langkah kurang tepat atau tidak efektif. Itu tadi titik tekannya lebih baik pemda mendorong pertumbuhan ekonomi di desa-desa.

"Urbanisasi dalam paradigma ini menimbulkan banyak permasalahan di perkotaan, terutama bila penduduk perdesaan yang pindah ke perkotaan tidak dibekali dengan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang memadai untuk bersaing mendapatkan pekerjaan yang layak di perkotaan. Fenomena ini identik dengan memindahkan kemiskinan dari perdesaan ke perkotaan," katanya.

"Tidak jarang di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Medan, dan kota-kota lainnya tumbuh kampung-kampung kumuh, gelandangan dan pengemis di jalanan, bahkan kriminalitas," tambahnya.

Untuk itu, katanya, di perdesaan harus diciptakan sistem insentif yang menarik bagi investor untuk berinvestasi di bidang industri berbasis pertanian dan sektor jasa, disertai dengan pembangunan infrastruktur pendukungnya. Kehadiran usaha industri dan jasa akan menciptakan lapangan kerja baru di perdesaan.

"Dengan demikian, gula itu akan tercipta di perdesaan, sehingga penduduk perdesaan tidak perlu berduyun-duyun pindah ke perkotaan untuk mencari nafkah," pungkasnya. (AP/OL-10)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Denny parsaulian
Berita Lainnya