Headline

Mantan finalis Idola Cilik dan kreator konten juga memilih menikah di KUA.

Fokus

Ketegangan antara Thailand dan Kamboja meningkat drastis sejak insiden perbatasan

Kasus Kekerasan Perempuan dan Anak Turun di Aceh

Ferdian Ananda Majni
15/2/2022 17:14
Kasus Kekerasan Perempuan dan Anak Turun di Aceh
Kekerasan anak.(Ilustrasi)

INDONESIA dinilai berada dalam kondisi darurat kasus kekerasan terhadap perempuan anak. Namun, laporan kasus yang diterima Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) Aceh menyatakan kasus kekerasan yang tercatat berdasarkan data pengaduan cenderung menurun setiap tahun.

Kepala DP3A Aceh, Nevi Ariyani, mengatakan dari tahun 2016 sebanyak 1.648 kasus, hanya pada tahun 2017 kasus bertambah menjadi 1.792 kasus, menurun kembali pada tahun 2018 sebanyak 1.376, tahun 2019 sebanyak 1.067 kasus dan tahun 2020 menurun sebanyak 905 kasus.

Baca juga: Cegah Omikron, Binda Sulut-Dinas Kesehatan Dorong Percepatan Vaksinasi

Kasus pada tahun 2020 tersebut terdiri dari kekerasan terhadap perempuan sebesar 420 kasus, sedangkan kekerasan terhadap anak sebesar 485 kasus.

"Tahun 2021 kekerasan terhadap perempuan 456 kasus, kekerasan terhadap anak berjumlah 468 kasus dan jumlah 924 kasus,” jelas Nevi Ariyani dalam keterangannya, Selasa (15/2) 

Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Aceh, secara umum mendukung program nasional dan sinergi penyelenggaraan program dan kegiatan mengacu pada RPJMA tahun 2017-2022 dan Renstra tahun 2017-2022 serta Renja Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Aceh, dengan mengembangkan strategi, program dan kegiatan untuk mendukung visi dan misi pemerintah, awalnya melalui 4 program teknis menjadi 6 sesuai dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 90 Tahun 2019 tentang Klasifikasi, Kodefikasi, dan Nomenklatur Perencanaan Pembangunan dan Keuangan Daerah.

Menurutnya, tugas pokok Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Aceh sesuai Pasal 5 Peraturan Gubernur Aceh Nomor 113 Tahun 2016 mempunyai tugas melaksanakan urusan pemerintahan dan pembangunan di bidang Kualitas Hidup Perempuan dan Keluarga, Pemenuhan Hak Anak, Perlindungan Perempuan dan Anak serta Data dan Informasi Gender dan Anak.

Tambahnya, begitu juga dengan fungsi diantaranya, dengan lahirnya Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Penanganan Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak, diharapkan dapat meningkatkan pelayanan secara terpadu.

"Saat ini juga beberapa Standar Operasional Prosedur (SOP) sebagai turunan dari Qanun tersebut menunggu tahap pembahasan dan beberapa SOP sedang dalam proses penyusunan. SOP,” sebutnya.

Selain itu, penguatan kapasitas kelembagaan dan sumber daya manusia pelayanan di provinsi, dari kelembagaan Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak (P2TP2A) sudah berkembang menjadi Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) sesuai Peraturan Gubernur Nomor 59 Tahun 2019 dan telah beroperasional.

Sedangkan untuk kabupaten/kota dilakukan evaluasi terhadap lembaga layanan dan dilakukan penguatan kapasitas SDMnya. Perlu dukungan kuat dari legislatif terhadap kebijakan dalam upaya pencegahan dan penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, baik dalam hal pembentukan UPTD PPA, sumber daya manusianya maupun sumber daya anggaran operasional layanan khususnya di kabupaten/kota.

Adanya kebijakan melalui Peraturan Gubernur Aceh Nomor 95 Tahun 2019 tentang Percepatan Pelaksanaan PUG Pada Pemerintah Aceh, dan disyaratkannya setiap SKPA melampirkan Gender Analisis Pathway (GAP) dan Gender Budgeting Statemen (GBS) sebelum disahkannya DPA-SKPA, serta penguatan kapasitas perencanaan tekait PUG dan PPRG diharapkan dapat meningkatkan ARG. Namun masih perlu penguatan regulasi dari Peraturan Gubernur menjadi Qanun, agar menjadi dasar yang kuat juga bagi kabupaten/kota. 

Sementara itu, Komisioner Komnas Perempuan Veryanto Sitohang menyebut bahwa kekerasan terhadap perempuan merupakan 5 bentuk dari ketidakkeadilan gender. Kondisi itu mayoritas dialami oleh para perempuan.

“Bukan berarti tidak ada laki-laki yang mengalaminya tetapi secara statistik kita menyatakan bahwa perempuan adalah orang yang paling banyak atau rentan menjadi dari 5 bentuk ketidakadilan gender,” sebut Veryanto dalam diskusi Rutgers dilansir Selasa (15/2).

Adapun bentuk-bentuk Ketidakadilan Gender masing-masing, subbordinasi, stereotip gender, beban ganda, marginalisasi dan kekerasan terhadap perempuan. 

Oleh karena itu, berdasarkan acuan deklerasi penghapusan terhadap perempuan yang disampaikan pada tahun 1993 dalam pasal 1 disebutkan setiap tindakan berdasarkan pembedaan jenis kelamin yang mengakibtkan, atau penderitaan secara fisik, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang baik yang terjadi di depan umum ataupun dalam kehidupan pribadi.

“Kenapa secara spesifik membicarakan kekerasan perempuan? karena ada situasi yang membuat perempuan rentan menjadi korban, biasanya secara relasi kuasa juga dia lebih rendah daripada orang yang melakukan kekerasan terhadap perempuan tersebut,” tuturnya.

Dia menambahkan ada beberapa jenis kekerasan terhadap perempuan yang sering terjadi, diantara kekerasan fisik, yakni segala tindakan yang menyasar atau ditujukan untuk menyakiti tubuh, fisik perempuan misalnya memukul, menampar, menendang, mencekik dan lainnya.

Kekerasan psikis yakni tindakan yang menyasar atau ditujukan untuk menyakiti psikis perempuan misalnya memaki, menghina dan lainnya.

Kekerasan seksual merupakan tindakan untuk menyakiti atau merusakn organ-organ seksual perempuan ataupun mengarah pada penghinaan seksualitas perempuan.

“Ada juga penelantaran ekonomi, segala tindakan untuk membatasi, mengurangi atau mengambaikan hak-hak perempuan atas penikmatan ekonomi ata sumber ekonominya misalnya diperkosa, dicabuli dan dilecehkan,” ujarnya. 

Berdasarkan catatan tahunan komnas perempuan pada tahun 2021, dilaporkan ada 299.911 kasus kekerasan terhadap perempuan di Indonesia. 

“Jika mengacu pada teori gunung es, bahwa kasus kekerasan terhadap perempuan ini yang muncul saja ke permukaan atau mau melaporkan kasusnya. Sesuguhnya banyak angka yang tidak terekspos,” lanjutnya.

Dia menambahkan, berdasarkan catatan tahunan, angka kasus kekerasan menurun setiap tahunnya. Dimana tahun 2019 kekerasan terhadap perempuan sebanyak 421.471 kasus, 2018 terdapat sebanyak 206.178, pada 2017 ada 348.446 kasus, ada 246.150 kasus pada tahun 2016, dn 321.752 kasus tahun 2015.

“Pertayaannya adalah apakah benar kasus kekerasan terhadao perempuan menurun? jawabannya tidak,” paparnya.

Komnas perempuan mengeluarkan 2 survei selama pandemi dan menyimpulkan bahwa kasus terhadap perempuan meningkat. Lanjut Veryanto mengaku ironinya peningkatan kasus tidak dibarengi dengan akses layanan dan pelaporan karena kebijakan pemerintah yang mengharuskan aktivitas di rumah.

“Kondisi itu membuat perempuan susah mengakses pendampingan dan susah keluar melaporkan kasusnya, bahkan harus hidup bersama pelaku kekerasan. Ini justru paling bahaya,” pungkasnya. (OL-6)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Astri Novaria
Berita Lainnya