Headline

RI dan Uni Eropa menyepakati seluruh poin perjanjian

Fokus

Indonesia memiliki banyak potensi dan kekuatan sebagai daya tawar dalam negosiasi.

Curah Hujan Tinggi, Pemda Harus Siaga Bencana

Ardi Teristi
12/10/2020 16:25
Curah Hujan Tinggi, Pemda Harus Siaga Bencana
Petugas memeriksa alat pengukur sinar matahari di Stasiun Klimatologi, BMKG Yogyakarta, Sleman, DI Yogyakarta, Rabu (7/10/2020).(Antara/Hendra Nurdiyansyah)

SEKRETARIS Pusat Studi Bencana UGM, Andung Bayu mengatakan, La Nina adalah peristiwa turunnya suhu air laut di Samudera Pasifik di bawah suhu rata-rata sekitarnya. La-Nina menyebabkan tekanan udara pada ekuator Pasifik barat menurun yang mendorong pembentukkan awan berlebihan dan menyebabkan curah hujan lebih tinggi dibandingkan kondisi normal.

Curah-hujan dan Southern Oscillation Index tertinggi itu biasanya terjadi pada September-November. Artinya, curah hujan pada bulan-bulan tersebut akan lebih tinggi daripada kondisi normal.

Baca juga: La Nina Berkembang di Pasifik, Curah Hujan Berpotensi Meningkat

"Sementara Desember-Februari yang merupakan puncak musim penghujan, curah hujan akan tetap tinggi meskipun korelasinya dengan Southern Oscillation Index lebih rendah," papar dia.

Andung menyebut, anomali iklim ekstrem La-Nina pada umumnya berlangsung hingga selesai musim penghujan. La-Nina mendatang diprediksi pada Desember 2020 hingga Februari 2021 dengan probabilitas sudah mulai berkurang. Artinya, kemungkinan curah hujan pada bulan-bulan tersebut mendekati curah hujan pada kondisi normal.

"Anomali cuaca ekstrem La nina semacam ini bisa menguntungkan juga merugikan. Menguntungkan karena sumber daya air kita melimpah dan potensi kekeringan rendah. Bisa juga merugikan sebab meningkatkan potensi banjir dan longsor."

Sektor pertanian menjadi yang terdampak langung secara positif oleh La-Nina. Produksi pertanian yang membutuhkan kebutuhan air yang tinggi biasanya akan bagus pada kondisi La-Nina.

Akibat tingginya curah hujan, menurut Andung, bencana yang sering terjadi adalah banjir dan longsor. Banjir ini terjadi akibat simpanan permukaan (surface storage) tidak mampu menampung air hujan yang lebih tinggi daripada biasanya.

Tanah longsor terutama disebabkan oleh peningkatan beban tanah yang semakin berat akibat terisi oleh air hujan yang meresap ke dalam tanah. Oleh karena
itu, hal-hal yang harus dipersiapkan adalah antisipasi kejadian banjir dan longsor.

"Jika hujan deras terus-menerus terjadi pada daerah rawan banjir masyarakat harus waspada. Demikian juga jika muncul retakan-retakan di tebing yang merupakan tanda-tanda akan longsor," paparnya.

Ia menegaskan pemerintah daerah, terutama melalui BPBD, harus siap siaga dalam menangani bencana banjir dan longsor. Hal ini dapat dilakukan dengan monitoring curah hujan dan debit sungai, serta penyiapan sarana Early Warning System (EWS).

Tantangan saat ini, menurutnya, adalah adanya kemungkinan banjir dan longor di tengah pandemi covid-19. Terutama jika bencana terjadi dalam skala besar sehingga masyarakat harus mengungsi.

"Barak pengungsian pada umumnya memiliki fasilitas seadanya dan sangat padat sehingga berpotensi tinggi terhadap penularan covid-19," terang dia. Biasanya penyakit yang banyak muncul adalah penyakit yang menyertai musim penghujan, terutama batuk pilek. Terkait dampak intensitas hujan yang tinggi terhadap covid-19, kata dia, perlu diadakan penelitian. (AT/A-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Maulana
Berita Lainnya