Headline

Putusan MK dapat memicu deadlock constitutional.

Fokus

Pasukan Putih menyasar pasien dengan ketergantungan berat

Menolak Pertambangan demi Warisan Bagi Anak Cucu

Yohanes Manasye
13/9/2020 02:03
Menolak Pertambangan demi Warisan Bagi Anak Cucu
Isfridus Sota, warga Lengko Lolok yang menolak pertambangan demi menjaga warisan leluhur untuk anak cucu.(MI/Yohanes Manasye)

SABTU (12/9) siang, Kampung Lengko Lolok di Desa Satar Punda, Kecamatan Lamba Leda, Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur, tampak ramai. Sejumlah mobil plat merah dan hitam diparkir di pa'ang (gerbang) hingga natas beo (halaman kampung). Sementara di bawah tenda yang dibangun di sisi timur compang (mezbah) dan mbaru gendang (rumah adat), terdapat sekitar 150 orang berkumpul.  

Mayoritas terdiri dari warga kampung Lengko Lolok. Lainnya, ada pejabat eksekutif dan legislatif Kabupaten Manggarai Timur, peneliti dari kampus Undana Kupang, dan pihak investor PT Istindo Mitra Manggarai. Tampak pula sejumlah tentara dan polisi duduk di bagian belakang dan di halaman rumah warga.

Beberapa tim peneliti dari Undana Kupang bergantian bicara dalam acara sosialisasi dan konsultasi publik terkait penyusunan AMDAL rencana penambangan batu gamping di wilayah itu.

Saat memasuki sesi dialog, beberapa warga mengacungkan tangan untuk bicara. Tak ketinggalan, seorang pria berperawakan tinggi dan kurus dalam balutan busana adat Manggarai. Pria 55 tahun bernama Isfridus Sota itu berbicara dengan keras.

"Saya cucu dari Petrus Delo, pendiri kampung ini," kata Isfridus memulai pembicaraannya.

"Dari awal memang saya nyatakan tolak. Dasar pemikiran saya tolak (tambang), karena tanah ini tidak berkembang seperti manusia. Bagaimana dengan anak, cucu, cece saya nanti kalau seandainya saya serahkan tanah nanti ke perusahaan," ujar ayah empat anak itu.

Alasan berikut, kata Isfridus, kampung sebagai komunitas adat memiliki pilar-pilar yang tidak boleh diperjualbelikan atau jatuh ke tangan pihak lain. Pilar-pilar tersebut, yakni kampung (beo), lingko (kebun atau lahan garapan), tempat tinggal (mbaru bate ka'eng), halaman bermain (natas labar), mata air (wae teku), dan mezbah untuk persembahan (compang bate takung).

Sebagai orang yang tahu adat, ia tak ingin titipan leluhur untuk anak-cucunya kelak jatuh ke tangan investor lalu dihancurkan demi investasi pertambangan. Ia juga menuturkan pengalaman pahit di balik janji-janji manis investor yang mengepung wilayah itu sebelumnya.

"Kami berbicara sekarang berangkat dari pengalaman yang sudah kami alami. Suka memang betul. Tetapi banyak dukanya kehadiran tambang di sini. Konflik banyak," katanya dengan nada meninggi.

Selama puluhan tahun tambang mangan beroperasi, mereka mengalami banyak konflik antarsaudara, antara paman dengan keponakan, antarkampung, antara warga dengan investor. Lantaran konflik tersebut, warga kerap berurusan dengan aparat hingga bersentuhan dengan proses hukum.

"Maka saya, Isfridus, dengan tegas, saya mau menyatakan, saya tolak tambang batu gamping (di Lengko Lolok) dan pabrik semen di persawahan Luwuk. Mangko hang dise ta Luwuk (piring nasi orang Luwuk) kok diberi untuk pabrik semen," ujarnya.

Ia mengritik keras pernyataan Bupati Agas Andreas saat sosialisasi pabrik semen di kampung Luwuk pada Januari 2020. Saat itu, Agas mengatakan, kehadiran tambang gamping dan pabrik semen akan meningkatkan kesejahteraan dan mengentaskan pengangguran.

"Apakah tidak ada cara lain untuk mengentaskan pengangguran? Mesti harus dengan tambang? Budaya kami di sini adalah pertanian dan ternak. Coba kita kembangkan budaya pertanian ini dan peternakan. Saya sendiri (sudah) merasakannya," tutup Isfridus.

Isfridus tak sendirian. Suara serupa juga muncul dari warga lainnya. Yesuardus Jurdin menyebut Desa Satar Punda sangat subur. Lahan yang subur itu sangat cocok untuk pertanian dan peternakan.

"Pertanian dan peternakan ini sangat menjanjikan kelangsungan hidup bagi warga secara turun temurun. Ketimbang tambang," ujar peternak sapi dan kambing yang terbilang sukses itu.

Sementara tambang, kata dia, hanya berlangsung selama 50 tahun. Dan 50 tahun merupakan jangka waktu yang sangat singkat. Apalagi pascaditambang, tak ada lagi yang tersisa untuk dimanfaatkan bagi kehidupan warga sekitar.

"Sehingga menurut saya bahwa kehadiran tambang memberikan kesejahteraan sesaat pada warga," kata ayah dua anak itu.

Sebagai pembanding, Yesualdus mengingatkan warga terkait pengalaman kehadiran sejumlah perusahan tambang mangan di wilayah itu. Selama 20 tahun tambang mangan beroperasi di Lengko Lolok, tetap hidup menderita dan miskin. Malah, ketika pergi, tambang hanya meninggalkan kerusakan lingkungan sehingga lahan bekas penambangan tak bisa lagi dimanfaatkan.

"Karena ini pengalaman dan fakta. Kehadiran tambang mangan pada 20 tahun terakhir, ketika mangannya habis dia pulang. Yang sisa lubang terjadi dimana-mana. Dan kehidupan warga masyarakat Lengko Lolok seperti ini. Saat tambang mangan itu pula seperti ini keadaanya. Ini yang menjadi kekhawatiran saya ketika tambang batu gamping ini jadi," tuturnya.

Investor tambang terdahulu, salah satunya adalah PT Istindo Mitra Perdana. Penambang yang meninggalkan lubang-lubang menganga tanpa reklamasi itu, namanya hampir sama dengan perusahan yang kini merayu warga untuk menambang batu gamping di Lengko Lolok.

Batu gamping tersebut akan dijadikan bahan baku pabrik semen milik PT Semen Singa Merah NTT di kampung Luwuk, kampung tetangga Lengko Lolok.

Ketua DPRD Herimias Dupa meminta kepada PT Istindo Mitra Manggarai untuk tidak melanjutkan hal-hal yang disebutnya sebagai luka yang sudah dialami warga jika investasi itu tetap berjalan.

"Tetapi harapan saya untuk Istindo Mitra Manggarai, jangan melanjutkan kembali luka yang masyarakat sudah alami. Karena itu, segala kajian ilmu dan ilmiah ini dipakai untuk kebijakan kedepannya. Itu catatan yang paling penting," kata Sekretaris DPD PAN Manggarai Timur itu.

Ia juga meminta kepada tim peneliti AMDAL untuk melakukan kajian agar kehadiran pertambangan dapat meningkatkan dampak ekonomi dengan tetap menekan dampak ekologi dan sosial.  "Supaya apa hari ini mungkin yang mereka (masyarakat) melihat luka tapi besok mungkin yang mereka dapatkan madu," ujarnya.

Sementara itu, Ketua Tim AMDAL Herry Kotta mengapresiasi seluruh masukan warga. Semua aspirasi warga akan menjadi bahan pertimbangan dalam kajian AMDAL.

Ia mengatakan, proses hingga sampai pada izin tambang masih sangat panjang. Untuk AMDAL saja, hasil kajian harus disampaikan kepada komisi penilai AMDAL. Di sanalah akan dinilai apakah Lengko Lolok layak ditambang atau tidak.

"Yang memutuskan bukan kami. Ini masih panjang jalannya. Nanti yang memutuskan adalah komisi penilai AMDAL. Semua aspek kita akan kaji, termasuk tadi dari bapak. Terima kasih sekali. Artinya itu masukan yang baik sekali. Ini suara-suara emas yang kami butuh supaya itu menjadi masukan dan itu menjadi bagian tak terpisahkan dari berita acara kita hari ini," ujar Herry. (R-1)

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Widhoroso
Berita Lainnya
Opini
Kolom Pakar
BenihBaik