Headline
Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.
Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.
Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.
WARGA Kecamatan Nanga Badau, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, mendapat kemudahan untuk berbelanja di wilayah Malaysia dan menjual lagi untuk masyarakat di daerahnya. Perbedaan harga di kedua wilayah membuat mereka mendapat keuntungan yang baik.
Namun, seperti diungkapkan SS Marulitua, seorang aktivis antikorupsi, pungutan liar membuat keuntungan warga terkikis. “Di Pos Lintas Batas Negara (PLBN) yang ada di Badau, warga harus merogoh kocek hingga Rp5 juta untuk satu pikup berisi bahan-bahan pokok,” keluhnya, kemarin.
Karenanya, aktivis organisasi Komunitas Pemuda Merah Putih Bergerak itu meminta Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar (Saber Pungli) segera bergerak menelusuri praktik tersebut. “Supaya ekonomi masyarakat di perbatasan ini bisa tumbuh dengan baik.”
Marulitua mengaku mendapat banyak laporan dari masyarakat. Praktik pungutan liar membuat mereka hanya mendapat keuntungan sangat tipis dari berbisnis dengan negara tetangga.
PLBN Badau, lanjutnya, ialah simbol kehadiran negara di perbatasan. Pos ini berada di Kecamatan Nanga Badau, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat.
Dia menjadi salah satu pintu masuk dan keluar bagi warga Indonesia maupun warga Malaysia di perbatasan Indonesia-Malaysia. PLBN Badau yang diresmikan Presiden Joko Widodo pada 16 Maret 2017 dimaksudkan untuk menggairahkan perekonomian masyarakat setempat dan meningkatkan kerja sama ekonomi dengan negara tetangga, Malaysia.
“PLBN Badau adalah salah satu infrastruktur megah yang dibangun di era Presiden Jokowi sehingga kita tidak kalah dengan negara tetangga. Namun, yang sangat disayangkan, justru di sana terjadi praktik pungli yang tidak bertanggung jawab. Hal itu sudah sangat meresahkan masyarakat,” kata Marulitua.
Saat ini masyarakat Nanga Badau yang tersebar di sejumlah perkebunan kelapa sawit sangat membutuhkan beras, gula, tepung, daging, susu, dan telur.
“Masyarakat kita terpaksa berbelanja ke Malaysia karena faktor kedekatan. Kalau berbelanja ke Pontianak, bisa memakan waktu berhari-hari lewat jalan darat dan biaya transportasinya masih mahal,” jelasnya.
Namun, ulah sejumlah pihak yang tidak bertanggung jawab membuat warga tidak bisa menikmati keuntungan itu. “Dampaknya, para buruh di perkebunan juga harus membeli bahan pokok dengan harga masih tinggi.” (Sug/N-3)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved