Mimpi Reklamasi Sulit Terwujud

Rendy Ferdiansyah
02/9/2019 23:00
Mimpi Reklamasi Sulit Terwujud
Areal bekas penambangan dan areal hutan Pulau Belitung yang rusak akibat perambahan hutan untuk penambangan.(ANTARA/Teresia May)

UPAYA reklamasi bekas tambang di Bangka Belitung layaknya pepatah jauh panggang dari api. Dari lahan kritis yang mencapai 200.000-an hektare, reklamasi baru bisa dilakukan di lahan seluas 2.200 hektare.

“Belum ada perusahaan tambang yang sudah 100% berhasil melaksanakan ­reklamasi. Banyak perusahaan yang berusaha melakukan ­reklamasi, tetapi belum satu pun bisa dikategorikan berhasil,” ungkap Kepala Dinas Lingkungan Hidup Daerah Bangka Belitung Eko Kurniawan.

Kegiatan penambangan di provinsi kaya timah ini dila-kukan 128 perusahaan. Mereka menggali dan mengeruk timah di 500 lebih lokasi penambangan.

Tambang telah menyebabkan 12.607 lubang raksasa di lahan seluas 15.000 hektare lebih. Reklamasi yang berjalan lamban di tengah cepatnya pengerukan lahan menyebabkan lubang baru yang jumlahnya mencapai 500 dalam dua tahun terakhir.

Pemprov Bangka Belitung sudah mematok reklamasi tidak harus berupa penanaman pohon atau revegetasi di ­lahan bekas tambang. Pengusaha bisa mengelola atau menyulap area eks tambang ini dengan fungsi lain, seperti untuk rekreasi, peternakan, atau pertanian. “PT Timah, misalnya, melakukan reklamasi di Air Jangkang, Kabupaten Bangka, dengan memadukan penanaman pohon dan spot ­wisata,” tambah Eko.

Gubernur Erzaldi Rosman Djohan juga menegaskan tak ada kompromi soal reklamasi ini. “Reklamasi lahan bekas tambang hukumnya wajib dilakukan perusahaan. Kami akan terus memantau dan turun ke lapangan guna melihat langsung keberhasilan reklamasi yang mereka lakukan.”

Daftar kerugian

Selain mendatangkan keuntungan, penambangan di Bangka Belitung juga dikritisi Wahana Lingkungan Hidup karena sudah menimbulkan banyak masalah. Direktur Walhi Bangka Belitung Jesik mengatakan pengangkutan timah menyebabkan 320.000 hektare lahan darat dan sejumlah wilayah pesisir menjadi lahan kritis.

“Lubang raksasa yang me-nganga ditinggalkan penambang yang jumlahnya mencapai 13.000 titik menyimpan potensi bencana. Di lubang itu, kami mencatat tahun ini saja, pada April-Agustus, sudah 24 warga meninggal dunia karena tenggelam di kolam itu,” tuturnya.

Selain itu, nyamuk malaria berkembang biak cepat dengan adanya genangan air. Kini, Bangka Belitung menjadi daerah endemik malaria.

Mengutip hasil temuan Komisi Pemberantasan ­Korupsi, dari total 1.085 izin usaha pertambangan, 601 di antaranya belum clear and clean. “Kerugian negara akibat kehilangan potensi pajak, biaya reklamasi, royalti, pajak ekspor, dan penerimaan nonpajak mencapai Rp68 triliun,” tandas Jesik.

Ancaman terbesar di masa mendatang ialah kerusakan daerah aliran sungai. Lahan produktif sebagai sumber penghidupan warga lokal juga tidak bisa dimanfaatkan lagi.

Di Tasikmalaya, Jawa Barat, Wakil Wali Kota Muhamad Yusuf juga mengeluhkan penambangan galian C di wilayah Mangkubumi-Indihiang telah meninggalkan banyak kolam raksasa. “Warga terancam bencana alam berupa longsor, banjir, dan krisis air berkepanjangan karena banyak sumber air hilang. Kewenangan menutup kegiatan itu ada di Pemerintah Provinsi Jawa Barat.” (AD/N-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya