Headline

Pengacara Tannos menggunakan segala cara demi menolak ekstradisi ke Indonesia.

Fokus

Sekitar 10,8 juta ton atau hampir 20% dari total sampah nasional merupakan plastik.

Ternyata, Orang Solo Raya Bukan Sumbu Pendek

Agus Utantoro
21/3/2019 15:00
Ternyata, Orang Solo Raya Bukan Sumbu Pendek
Direktur Eksekutif CSIS Philips J Vermonte(MI/ROMMY PUJIANTO)

HASIL survei yang dilakukan CSIS (Center for Strategic and International Studies) bersama Losta Institute di tiga kota Solo Raya, yakni Surakarta, Boyolali dan Sukoharjo menyimpulkan masyarakat di tiga daerah ini tidak bersumbu pendek seperti yang kerap dinyatakan sejumlah pihak.

Direktur Eksekutif CSIS Philips J Vermonte menjelaskan hasil survei juga memberikan gambaran bahwa sebenarnya masyarakat di tiga kota tersebut tidak setuju dengan kekerasan.

Survei bertajuk Tindak Kekerasan Ekstrem Berbasis Amana dan Nonagama: Studi 3 Daerah di Solo Raya dilakukan pada 12-16 Februari di ketiga wilayah tersebut. Survei melibatkan 600 responden dengan beragam latar belakang, mayoritas tidak sependapat terhadap motif dan cara kekerasan dan nonkekerasan ekstrem berbasis agama.

"Survei ini kami lakukan dengan teknik multistage random sampling, 600 responden tersebar di Surakarta, Boyolali, Sukoharjo, dengan margin of error 4% dan wawancara tatap muka menggunakan kuesioner," kata Direktur Eksekutif Losta Institute, Uthu Taedini.

Baca juga:

Responden pun terbagi dalam beberapa segmen, seperti pedesaan-kota dengan persentase 40-60%, laki-laki dan perempuan 50-50%, dan distribusi sample Surakarta 23,3%, Boyolali 43,3%, Sukoharjo 33,3%. Kemudian demografi agama 92% responden Islam, 8% beragama lain, serta tingkat pendapatan, jenjang pendidikan, pekerjaan hingga kedekatan dengan ormas keagamaan.

Desain penelitian dengan pengukuran apakah kenal dan setuju atau sebaliknya, terhadap peristiwa yang telah terjadi. Yakni, peristiwa kekerasan berbasis agama meliputi bom WTC 9/11, bom Sidoarjo, ISIS dan sweeping saat bulan Ramadan. Sedangkan peristiwa nonkekerasan berbasis agama adalah Aksi Bela Islam 212.

Pertanyaan yang diajukan kepada responden, mengutip pernyataan resmi dari pelaku tindak kekerasan di media massa. Jika tidak ada, maka dikutip pernyataan resmi dari pemerintah atau kepolisian.

"Responden dipaparkan dulu pernyataan resmi dari organisasi yang bersangkutan, menambah derajat objektivitas dari pertanyaan. Jadi pertanyaan bukan kita yang buat, tapi fakta yang disampaikan oleh yang bersangkutan," ungkap Uthu.

Sikap responden, jelasnya, terhadap peristiwa bom WTC 7,8% setuju dan mendukung motif, 79,3% tidak setuju. Terkait cara melakukan pengeboman 5,1% setuju, 86,7% tak setuju. Terhadap aksi bom Sidoarjo, 2,6% setuju motifnya, 89,9% tak setuju.

Kemudian sweeping tempat hiburan malam saat Ramadan, 42,7% setuju motifnya, 51,8% tak setuju. Terhadap caranya, 24,5% setuju, 69,8% tak setuju. Aksi ISIS, 4,2% setuju motifnya, 90,1% tak setuju. Aksi Bela Islam 212, 35,3% setuju motifnya, 51,7% tak setuju.

Dua peristiwa itu tidak ditanyakan soal sikap terhadap caranya. Khusus responden muslim juga ditanya terkait toleransi beragama. Hasilnya, 71,8% bersedia umat nonmuslim membangun rumah ibadah di sekitar tempat tinggalnya, 90,4% bersedia bertetangga dengan nonmuslim, 80,9% bersedia ada nonmuslim merayakan Natal di lingkungan tempat tinggal responden.

Pun ditanya sikap terhadap demokrasi, 57% setuju pernyataan demokrasi mempunyai kelemahan, tetapi tetap lebih baik daripada sistem pemerintahan yang lain. Sedangkan 56,3% setuju saat ini di Indonesia, rakyat bebas mengkritik pemerintah tanpa harus merasa takut.

Sementara peneliti pada CRCC (Center for Religiuos and Criss Cultural) Universitas Gadjah Mada, Mohammad Iqbal Ahnaf, mengatakan, hasil survei itu memberikan dua sisi sekaligus, yakni kabar baik dan buruk.

Baca juga: Perempuan Lebih Rentan Jadi Pelaku Terorisme dan Sebar Hoaks

Ia mengemukakan, hasil survei menunjukkan dukungan masyarakat terhadap terorisme ternyata rendah, meski narasi terorisme banyak bermunculan di media sosial. Masyarakat harus terus diajak agar memiliki ketahanan untuk menghadapi hal-hal semacam itu.

"Ini menjadi basis kita untuk optimistis bahwa masa depan toleransi di Indonesia akan terus berkembang," kata Iqbal.

Namun demikian, ujarnya, tidak bisa dinafikkan ada sekelompok orang di Indonesia yang sering membuat gaduh.

"Mereka ini vokal sehingga membuat suasana berisik," imbuhnya.(OL-5)

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya