Headline
Presiden memutuskan empat pulau yang disengketakan resmi milik Provinsi Aceh.
Presiden memutuskan empat pulau yang disengketakan resmi milik Provinsi Aceh.
Kawasan Pegunungan Kendeng kritis akibat penebangan dan penambangan ilegal.
MINUM minuman keras sepertinya sudah menjadi tradisi di beberapa daerah. Dampak buruknya pun juga sudah disadari. Namun, kebiasaan ini, diakui atau tidak, tetap lestari.
Namun, di balik itu nilai-nilai budaya sudah mengaturnya yang membatasi mengonsumsinya. Di Yogyakarta, sebagai pusat kebudayaan Jawa dari dulu hingga kini ditemukan kebiasaan minum miras. “Sebenarnya budaya punya penjelasan untuk pembatasan agar orang yang mabuk tidak menyusahkan orang lain,” kata Kukuh Setyana.
Eksistensi miras itu, menurut budayawan asal Bantul ini, bisa dilihat dalam buku primbon. Misal, dikenal adanya candrane tiyang inum atau kondisi seseorang terpengaruh minuman keras dari yang paling kecil hingga terbesar.
Ada 10 kondisi ketika mengkonsumsi miras. Menurut Kukuh, budaya Jawa menyebut orang yang minum satu sloki (gelas khusus untuk minuman keras), disebut (dicandra) eka padma sari. “Ibarat orang yang riang sebagaimana setelah meminum sari bunga atau madu,” katanya.
Jika minum dua sloki, disebut dwiamartani. Ibarat masih serbaenak untuk diajak bicara, menyenangkan dan gembira. “Minum sloki ketiga, ibarat tri kawula busana, yakni abdi yang mendapat hadiah busana baru dan mulai ngelunjak seperti pembantu yang ingin sejajar dengan tuannya.
Pada sloki keempat, kemudian dicandra sebagai catur wanara rukem. Ibarat orang sudah seperti kera yang berebut buah. Ramai dan sesekali sudah saling mengejek bahkan mulai muncul saling ancam.
Sloki kelima diibaratkan panca sura panggah atau orang yang terpengaruh miras itu mulai berani dan mengaku apa pun siap melaksanakan. Hingga sloki kesembilan, disebut nawa gra lapa atau badan seseorang yang mengonsumsi miras mulai lemas dan kehilangan kekuatan serta kemampuan bicara yang bernalar.
“Akhirnya pada tingkatan tertinggi ialah dasa yaksa mati atau sudah seperti raksasa yang tewas. Diam dan memerlukan pertolongan penyelamatan,” ulas Kukuh. Diakui, pengetahuan semacam ini sudah terabaikan.
“Orang hanya mencari miras untuk mabuk hingga tidak tahu batasan hingga banyak yang tewas atau masih dapat diselamatkan, tetapi sudah kehilangan penglihatannya,” ujar Kukuh.
Margitar
Bagi sebagian warga Medan, minum tuak juga sudah mentradisi, sulit dihilangkan. Di Medan, Sumatra Utara, tak terhitung jumlah warung yang menyediakan tuak. Bahkan di masyarakat, ada adagium yang disebut parmitu akronim dari partai minum tuak.
Tuak ialah sejenis minuman beralkohol hasil fermentasi dari air dari pohon nira. Air nira ini bisa juga dijadikan sebagai gula merah atau gula aren.
Tradisi minum tuak di Medan dan sekitarnya itu biasanya dilakukan beramai-ramai. Minuman tuak pun disajikan di warung-warung.
Biasanya pesta minum tuak itu diiringi dengan menyanyi lagu-lagu daerah Sumatra Utara beramai-ramai sambil diiringi petikan suara gitar (margitar).
Bila sudah mabuk, nyanyian lagu-lagu yang mereka dendangkan akan semakin enak didengar. Hanya saja bila sudah mabuk tuak, beberapa orang yang mengonsumsinya sering tak terkontrol. Mereka mudah emosi. Tidak jarang selalu terjadi keributan.
Sosiolog dari USU, Hendri Sitorus mengakui bahwa tradisi meminum tuak itu belum dapat dihilangkan dari sebagian masyarakat di Sumatra Utara karena ada anggapan bahwa meminum tuak itu dapat menambah semangat hidup dan menghilangkan kepenatan dari seharian bekerja keras.(PS/N-1)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved