Headline

Dengan bayar biaya konstruksi Rp8 juta/m2, penghuni Rumah Flat Menteng mendapat hak tinggal 60 tahun.

Fokus

Sejumlah negara berhasil capai kesepakatan baru

Nyawa Seharga Setoran

Gana Buana
18/12/2015 00:00
Nyawa Seharga Setoran
(MI/Ramdani)
"ASTAGFIRULLAH," teriak Dahlia, 28, salah seorang penumpang metromini 72 jurusan Blok M-Lebak Bulus ketika minibus yang dinaikinya tiba-tiba melaju kencang. Teriakan Dahlia dan penumpang lainnya supaya sopir mengurangi kecepatan sia-sia. Metromini itu bahkan melaju makin kencang. Rasa kagetnya belum hilang ketika tiba-tiba sopir mengerem mendadak di bawah flyover Mal Pondok Indah. Sontak Dahlia dan penumpang lainnya terhuyung ke depan, nyaris membentur kursi di depannya.

Di sini, sang sopir mengetem cukup lama hingga kembali diprotes penumpang. Ia pun menjalankan kendaraannya dengan kencang. Rambu-rambu lalu lintas ada di sepanjang jalan tak digubrisnya. Ito, sang sopir, mengaku mengebut untuk berebut penumpang dengan sopir lainnya. Lelaki muda asal Kebumen, Jawa Tengah, itu mengaku hanya sopir tembak. Ia harus menarik sebanyak-banyaknya penumpang supaya bisa mendapatkan uang lebih. Biasanya, dalam satu rit perjalanan, ia bisa mengantongi uang sebesar Rp100 ribu sampai dengan Rp160 ribu. "Hasilnya dibagi dua dengan sopir aslinya," ujarnya, beberapa waktu lalu.

Meski menolak menunjukkan surat izin mengemudi (SIM) miliknya, Ito mengaku sudah mahir menyetir mobil. Karena itu, dia mengaku tidak takut membawa penumpang. "Menyetir mobil bukan bisa lagi. Sudah mahir, sambil merem juga bisa," lanjutnya. Perilaku Ito setali tiga uang dengan Bagus, 24, yang juga sopir tembak di jurusan yang sama. Saat keluar dari Terminal Blok M, ia mengemudi dengan kecepatan normal 40-60 km/jam.  Beberapa kali ia menghentikan kendaraannya untuk mengetem.

Namun, saat melihat ada metromini lain di belakangnya, Bagus langsung memacu mobilnya. Seusai jarak metromininya dengan metromini lain cukup jauh, kecepatannya kembali normal. Pria yang baru dua bulan menjadi sopir tembak itu mengatakan biasanya dalam kondisi mengejar penumpang dan menjaga jarak, ia sering kali menambah kecepatan sampai dengan batas 80 km/jam. Namun, sejak melihat rekannya diamuk massa lantaran mobilnya terbalik, ia tidak berani lagi memacu mobilnya dengan kencang. Bagus mengaku dalam satu hari, dia harus membagi uang yang didapatnya 50:50 pada sopir metromini yang dibawanya. "Misalnya dari pagi sampai siang saya dapat Rp500 ribu, itu Rp250 ribu untuk saya, Rp250 lagi untuk sopir," ujarnya. Dari hasil itu pun dia harus membagi dengan kernet yang membantunya sebesar 30% pendapatan bersih yang diterimanya.

Dukung peremajaan
Perilaku ugal-ugalan sopir metromini dan banyaknya kecelakaan yang terjadi membuat pemerintah berencana mencabut trayek angkutan dengan ciri khas oranye itu. Namun, langkah itu ditentang banyak pengemudi. Mereka mengklaim tidak semua sopir metromini seperti itu. Iwan, 59, sopir metromini 80 jurusan Kalideres-Angke, meminta pemerintah segera meremajakan bus sehingga tidak perlu mencabut izin trayek metromini. Menurutnya, rencana mencabut izin trayek metromini merupakan tindakan yang berlebihan.

Pasalnya, jika operasional bus yang jumlahnya ribuan itu dihentikan, banyak pengemudi dan kondektur akan kehilangan pekerjaan. "Berapa banyak pengemudi, kernet, dan kondektur yang akan menganggur? Pemerintah juga perlu mempertimbangkan hal itu. Kami harap ada kejelasan secepatnya," ujar Iwan. Ia pun mengeluhkan ketidakpastian informasi mengenai hal tersebut. Nasib para pengemudi metromini pun menjadi tidak jelas. Tak hanya itu, semenjak masalah kecelakaan metromini maut di pelintasan Angke, Tambora, Jakarta Barat, pada awal bulan ini, metromini sepi penumpang.

Setiap harinya ia menarik sewa penumpang dari pukul 06.00 WIB hingga pukul 21.00. Biasanya, Iwan bisa membawa uang bersih Rp100 ribu-Rp150 ribu per hari setelah dipotong setoran Rp350 ribu kepada pemilik. Namun, belakangan ini ia hanya mendapat uang sekitar Rp50 ribu-Rp80 ribu per hari. Jumadi, 45, pengemudi metromini 93 jurusan Kalideres-Tanah Abang, mengatakan pemerintah memang sudah seharusnya menertibkan angkutan umum supaya bisa layak jalan. Namun, penertiban yang dilakukan harus punya pertimbangan, apalagi jika harus mencabut izin trayek metromini untuk beroperasi.

"Saya setuju ada penertiban ketat, tetapi jangan terlalu kejam juga. Perlu dipikirkan nasib para pengemudi yang kehilangan pekerjaan. Nanti makan apa keluarga kami?" ujarnya saat ditemui di Terminal Kalideres, Jakarta Barat, Senin (14/12). Salah seorang pemilik metromini, Azas Tigor Nainggolan, meminta dinas perhubungan tidak asal mencabut izin  etromini. "Sedikit demi sedikit metromini dihapus dengan cara seperti ini dan akan menghilangkan nafkah hidup ribuan orang. Sebaiknya ada alternatif peremajaan," ujarnya.

Dampak setoran
Kepala Dinas Perhubungan dan Transportasi DKI Jakarta Andri Yansyah mengatakan rekrutmen sopir angkutan umum pada dasarnya sudah ada standarnya, di antaranya memiliki surat izin mengemudi (SIM), berkesehatan baik, dan menggunakan seragam. Namun, semuanya itu diserahkan sepenuhnya kepada operator atau pemilik angkutan. Menurut dia, perilaku sopir yang tidak disiplin dan kerap melanggar merupakan dampak dari penggunaan sistem setoran. Untuk itu, satu-satunya solusi mengubah perilaku pengemudi ialah dengan mengubah sistem setoran menjadi sistem pembayaran rupiah per kilometer seperti yang akan dilakukan pada revitalisasi angkutan umum.

"Kami ubah sistemnya sehingga hal seperti ini tak lagi ditemukan," ujarnya. Andri mengatakan, seusai metromini direvitalisasi, para pengemudi harus besertifikat dan lolos tes psikologi. Setelah revitalisasi ini, pengemudi akan mendapatkan gaji sebesar dua kali upah minimum provinsi (UMP). "Bila sudah direvitalisasi, rekrutmen sopir angkutan umum harus diperketat. Yang terpenting tes psikologi dan besertifikat," tukasnya. (Gan/Nel/Sri/J-4)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Admin
Berita Lainnya