Headline
Presiden memutuskan empat pulau yang disengketakan resmi milik Provinsi Aceh.
Presiden memutuskan empat pulau yang disengketakan resmi milik Provinsi Aceh.
Kawasan Pegunungan Kendeng kritis akibat penebangan dan penambangan ilegal.
RISET kualitatif Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA menunjukan bahwa ada 3 alasan mengapa pencalonan melalui partai politik akan menguntungkan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Hasil riset itu dirilis Selasa (28/6) di Jakarta. Berikut tiga keuntungan tersebut:
Pertama, memudahkan Ahok untuk mewujudkan pemerintahan yang kuat dengan dukungan mayoritas parlemen. Total kursi DPRD hasil pemilu 2014-2015 : 106 kursi. Partai Nasdem (5 kursi), Hanura (10 kursi), dan Golkar (9 kursi) yang sudah mempublikasi dukungannya memiliki 24 kursi. Untuk sah menjadi calon hanya dibutuhkan 20 persen kursi, equivalen dengan 22 kursi saja. Koalisi Golkar, Nasdem dan Hanura sudah melampaui syarat minimal itu.
Untuk menguasai mayoritas DPRD, ahok membutuhkan minimal 50 persen + 1, equivalen dengan 53 kursi. Jika PDIP (28 kursi) ditambah satu partai berbasis Islam, mayoritas DPRD sudah bisa diraih. PKB memiliki 6 kursi. PAN mendapatkan 2 kursi. Koalisi PDIP, Golkar, Nasdem, Hanura dan PKB menguasai mayoritas 58 kursi. Atau koalisi PDIP, Golkar, Nasdem, Hanura dan PAN menguasai mayoritas 54 kursi.
Sebagai pemimpin dan politisi yang ingin berhasil, Ahok harus punya keinginan membentuk pemerintahan yang kuat, yang didukung oleh mayoritas DPRD.
Ahok harus maksimal mendapatkan koalisi besar itu. Dan itu sangat bisa ia dapatkan sejauh ia bersedia mengembangkan leadership yang akomodatif, walau tetap tegas dengan platform anti korupsi.
Kedua, Ahok terhindar dari kisruh lebih dalam melawan DPRD yang menyulitkan gubernur soal anggaran, perda, dan pengawasan. JIka berkaca pada pengalaman sebelumnya, Ahok justru menciptakan kondisi dimana mayoritas DPRD bermusuhan dengannya. Sehingga seringkali Ahok mendapatkan kesulitan ketika pembahasan anggaran dan perda. Belum lagi ketika DPRD memainkan fungsi pengawasannya yang bisa menggangu fokus gubernur.
Dari sisi anggaran, DKI punya kemewahan dengan anggaran (APBD) 2015 yang termasuk tertinggi sebesar Rp69,28 triliun. Kemewahan itu tak bisa maksimal diterjemahkan untuk publik Jakarta jika hanya digunakan (mampu diserap) sebagian saja. Padahal penggunaan dana yang sudah tersedia itu sangat membantu publik Jakarta. Dana Podomoro yang membantu DKI ratusan miliar itu pun tak sebanding dengan dana puluhan trilyun yang sah, yang belum terserap
DPRD pun sangat berperan dalam legislasi membuat perda. Aneka kebijakan apalagi yang baru dan inovatif yang berimplikasi luas ke masyarakat memerlukan payung hukum perda. DPRD juga sudah diset oleh sistem demokrasi sebagai wakil rakyat yang menentukan isi dan bulat lonjong perda itu.
Ahok sebagaimana pemda inovatif lain sudah cukup banyak melaksanakan apa yang disebut PPP (Public Private Partnership) dalam membangun Jakarta. Melalui program itu, pihak swasta dilibatkan untuk ikut membiayai program dan proyek yang diinisiasi oleh pemda. Namun agar segala hal tertib, adil, transparan, dan fair, kebijakan itu juga memerlukan payung hukum perda atau persetujuan DPRD. Seandainya antara pihak gubernur dan DPRD terbina hubungan yang lebih ramah, tidak bermusuhan, hal di atas bisa terhindari.
Hak DPRD lainnya yang diberikan undnag-undang adalah pengawasan pemda (controlling). Jika DPRD semangatnya menginginkan gubernur tidak sukses, DPRD bisa membuat banyak manuver menyulitkan sang gubernur. DPRD misalnya sudah membuat Pansus RS Sumber Waras. Ahok dan aneka pejabat DKI akan dibuat bulak- balik ke DPRD.
Tentu saja semua kewenangan DPRD itu positif jika dilaksanakan demi terbentuknya sistem pemerintahan yang sesuai dengan prinsip check and ballance. Namun dalam jenis pemerintahan dimana eksekutif dan legislative saling bermusuhan, atau pemerintahan yang terbelah, divided government, dosis peran DPRD itu dapat dimainkan sampai ke level yang mengganggu kinerja gubernur.
Ketiga, Ahok bisa lebih fokus dengan aneka program inovatifnya karena diback up partai politik. Selama memimpin Jakarta, Ahok membuat beragam program inovatif. Ahok juga dinilai sukses membangun Jakarta yang secara fisik lebih rapih dan tertata. Ahok berhasil memobilisasi pengusaha besar ikut membangun dan menyumbangkan dana bagi proyek DKI. Ahok berhasil memberikan pelayanan lebih baik yang membuat mayoritas pemilih puas. Dengan makin kuatnya dukungan di parlemen, Ahok bisa lebih leluasa dan fokus mewujudkan berbagai program inovatifnya.
“Saat ini semua pilihan kembali ke Ahok, apakah melalui jalur independen atau partai politik. Jika melanjutkan jalur independen dan terpilih, Ahok kembali mewarisi pemerintahan yang terbelah (divided government). Yaitu pemerintahan eksekutif yang mendapatkan pelawanan mayoritas legislatif (DPRD),” demikian kesimpulan riset tersebut seperti dirilis di laman lsi.co.id. (X-2)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved