PEMBATASAN jalan berbayar elektronik atau electronic road pricing (ERP) di titik perbatasan pada jalan-jalan nasional ditargetkan dapat diterapkan pada September 2020.
Kepala Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) Bambang Prihantono menyebut ERP merupakan kebijakan yang lebih andal serta efektif untuk mengatasi kemacetan. ERP pun telah ditetapkan dalam Peraturan Presiden No 55 tahun 2018 tentang Rencana Induk Transportasi Jabodetabek (RITJ) 2018-2029.
Dalam RITJ, menurut Bambang, ERP harus dilakukan pada 2020 agar pada 2029 tercapai sejumlah target di antaranya peningkatan jumlah penumpang angkutan umum hingga 60% serta menurunnya jumlah volume kendaraan di jalan hingga 40%, serta meningkatnya kualitas udara di Jabodetabek.
"Dalam 'timeline' RITJ, ERP memang harus sudah diterapkan paling lambat 2020. Itu sebagai kebijakan yang lebih 'advance' jadi bukan coba-coba lho ya," kata Bambang saat dihubungi Media Indonesia, Senin (25/11).
Tenggat waktu September 2020 sesuai dengan satu tahun berlakunya perluasan ganjil genap yang diterapkan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Baca juga: BPTJ Minta Masyarakat tidak Khawatir Soal ERP
Bambang menegaskan ganjil genap memang lebih baik jika hanya berlaku selama satu tahun dan kemudian pemangku kebijakan harus menerapkan kebijakan yang lebih efektif seperti ERP.
"Ya kalau ganjil genap kemarin September diterapkan berarti ERP satu tahun setelahnya. Makanya ini kita kejar-kejaran dengan waktu untuk membahas semuanya agar bisa dilaksanakan tepat waktu. Karena bila semakin lama, kita akan semakin sulit mengatur pergerakan orang yang sudah 88 juta per hari ini," ujar Bambang.
Ia pun menyebut masih terus membahas upaya pembuatan produk hukum selevel peraturan pemerintah (PP) guna mengakomodir ERP di jalan-jalan nasional.
"Karena BPTJ kan lingkupnya memang di jalan nasional. Nah, untuk aturan kita sedang bahas terus ini mungkin selevel PP," ungkapnya.
Sementara itu, ia menepis anggapan masyarakat yang menyebut harus bayar untuk masuk ke Jakarta dengan adanya ERP. Menurutnya, ini bukan persoalan bayar atau tidak membayar.
"Ini secara teori disebut 'congestion charge'. Jadi jika dia menyebabkan kemacetan kita kenakan 'charge'. Tapi selama dia tidak ikut menimbulkan kemacetan ya tidak," tukasnya.(OL-5)