Headline
Gencatan senjata diharapkan mengakhiri perang yang sudah berlangsung 12 hari.
Gencatan senjata diharapkan mengakhiri perang yang sudah berlangsung 12 hari.
Kehadiran PLTMG Luwuk mampu menghemat ratusan miliar rupiah dari pengurangan pembelian BBM.
SEJAK dulu, profesi dokter selalu dijunjung sebagai profesi mulia dan altruistik. Dokter tidak hanya dianggap sebagai 'pembantu penyelamat nyawa', tetapi juga simbol ilmu pengetahuan, dedikasi, dan pengabdian terhadap kemanusiaan. Namun, di tengah perubahan sosial, ekonomi, dan politik global, profesi itu kini menghadapi tantangan serius bernama 'buruhisasi dokter' (medical proletarianization). Berdasar definisi, buruh ialah semua individu yang bekerja dan memperoleh bayaran atau upah. Dari definisi tersebut, hampir semua profesi, termasuk profesor, manajer, pegawai bank, dan dokter, sejatinya juga termasuk buruh.
Meski demikian, secara tradisional buruh dikategorikan atas buruh kasar (blue collar) dan buruh halus (white collar). White collar biasanya bekerja kantoran, memiliki keterampilan khusus yang jarang, serta memiliki posisi tawar yang tinggi. Namun, pengategorian itu tidak bersifat mutlak. Ada kategori lain yang disebut gray collar dan gold collar. Profesi dokter digolongkan gold collar. Itu merujuk pada profesi dengan tingkat keterampilan yang tinggi, kebutuhan tak tergantikan, serta memiliki otonomi profesional.
Namun, dengan bertambahnya jumlah dokter secara masif, minimnya penyerapan adekuat, tidak adanya standar remunerasi, serta adanya tekanan kerja yang menyerupai pekerja industri, status gold collar dokter mulai memudar. Profesi tersebut mengalami degradasi status. Ia mengalami buruhisasi; penurunan status dan privilese. Bukan tidak mungkin statusnya akan menjadi gray collar atau bahkan dekat-dekat dengan blue collar.
Di Indonesia, tanda-tanda buruhisasi terlihat semakin nyata. Upaya pemerintah untuk memperbanyak jumlah dokter tidak diimbangi dengan langkah-langkah penyerapan dan peningkatan kesejahteraan dokter. Dokter akan diproduksi dengan berbagai cara hingga jumlahnya masif.
Dokter, terutama yang bekerja di rumah sakit pemerintah atau swasta, kerap diperlakukan sebagai pekerja kasa, yang harus mematuhi aturan jam kerja, mencapai target kuantitatifc serta mematuhi tanpa syarat setiap keputusan manajerial rumah sakit. Ia bekerja layaknya tukang: mengikuti saja perintah mandor.
Dengan sistem remunerasi ala BPJS, pendapatan yang diterima sering kali tidak sebanding dengan beban kerja, tanggung jawab, dan tingkat pendidikan yang telah ditempuh. Tidak ada standar upah minimum profesi. Gaji dokter dibiarkan berkompetisi bebas berdasar prinsip supply and demand. Kalau jumlah dokter banyak, pendapatannya akan rendah.
Tekanan tersebut tidak hanya datang dari sistem kesehatan, tetapi juga dari masyarakat. Dalam beberapa tahun terakhir, profesi dokter sering menjadi sorotan dan sasaran kritik. Kasus-kasus malapraktik atau dugaan pelanggaran etik yang diangkat di media massa sering kali menyudutkan dokter tanpa memberikan ruang untuk memahami konteks yang lebih luas. Organisasi profesi seperti Ikatan Dokter Indonesia (IDI) juga menghadapi berbagai tekanan, termasuk isu-isu politis yang semakin memperburuk citra profesi dokter di mata publik.
Buruhisasi dokter
Fenomena buruhisasi dokter kini menjadi tantangan global. Banyak negara lain, termasuk negara maju, menghadapi tantangan serupa. Di Amerika Serikat, banyak dokter yang bekerja di bawah tekanan perusahaan asuransi kesehatan dan rumah sakit besar yang berorientasi pada keuntungan.
Sistem pembayaran berbasis nilai (value-based payment), yang dirancang untuk meningkatkan efisiensi, membuat dokter harus bekerja lebih keras dengan kompensasi yang tidak selalu meningkat. Beban administratif, seperti dokumentasi elektronik dan pengelolaan klaim asuransi, juga menjadi sumber stres serius.
Di Inggris, dokter yang bekerja dalam sistem national health service (NHS) menghadapi tekanan serupa. Dengan anggaran terbatas dan permintaan layanan kesehatan yang terus meningkat, dokter sering kali dihadapkan pada kondisi kerja yang berat. Banyak dokter muda di NHS melaporkan tingkat kelelahan yang tinggi (burnout), rendahnya gaji, dan kurangnya dukungan sistem. Sebagian akhirnya meninggalkan profesi itu.
Fenomena serupa juga muncul di negara-negara lain seperti Australia, Kanada, dan Jerman. Di negara-negara tersebut, komersialisasi layanan kesehatan dan meningkatnya regulasi telah membatasi otonomi profesional dokter.
Di Indonesia, fenomena itu mulai muncul. Ironisnya, di negeri ini fenomena tersebut diperberat oleh kurangnya infrastruktur kesehatan, kompensasi yang tidak seimbang, ketimpangan distribusi dokter, tidak adanya standar upah profesional, serta humiliasi profesi oleh institusi yang seharusnya mengayomi profesi itu. Kekuasaan ingin mengacak-acak profesi dengan alasan sederhana: 'the government is to govern'.
Mengapa buruhisasi terjadi?
Banyak faktor yang memicu buruhisasi dokter. Di antaranya ialah komersialisasi sistem kesehatan. Sektor kesehatan kini semakin ditarget sebagai industri yang berorientasi pada keuntungan dan bisnis. Sektor kesehatan bukan lagi social domain. Banyak rumah sakit, baik swasta maupun pemerintah, lebih berfokus pada efisiensi finansial daripada kualitas pelayanan. Target mereka ialah mengejar keuntungan finansial atau paling tidak meminimalkan pengeluaran finansial.
Hal itu menempatkan dokter dalam posisi sulit: mereka harus memenuhi target kuantitatif jumlah pasien atau prosedur tertentu. Bila tidak, mereka dianggap under-performance. Itu harus mereka lakukan walau berisiko mengorbankan aspek kualitas dan hubungan personal dengan pasien.
Selain itu, adanya perubahan sistem pembayaran. Banyak negara, termasuk Indonesia, telah mengadopsi sistem pembayaran berbasis paket atau kapitasi. Pada sistem itu, dokter dibayar tetap berdasarkan jumlah pasien terdaftar, bukan berdasarkan jumlah atau kompleksitas tindakan medis yang dilakukan. Itu memaksa dokter bekerja lebih keras dengan upah yang tidak sebanding dengan beban kerja yang dihadapi.
Pada saat yang sama, dokter berhadapan dengan tuntutan administratif yang tinggi, seperti pelaporan pasien, pencatatan elektronik, dan verifikasi klaim asuransi. Itu menambah beban kerja dokter yang sudah berat. Akibatnya, waktu yang seharusnya digunakan untuk merawat pasien justru tersita oleh tugas-tugas administratif. Sebagian dokter harus bekerja dengan jam kerja yang panjang dan tekanan yang besar tanpa kompensasi yang layak. Itu menciptakan kondisi yang mana ambient kerja dokter menjadi beraroma buruh kasar. Kesejahteraan dan otonomi profesional mereka terabaikan.
Dampak buruhisasi
Dampak buruhisasi dokter bisa sangat serius. Efeknya bukan hanya dirasakan oleh para praktisi medis, tetapi juga oleh pasien dan masyarakat umum.
Beban kerja berlebihan, kurangnya apresiasi, dan minimnya otonomi dalam pengambilan keputusan menjadi masalah serius yang berujung pada burnout. Kondisi itu tidak hanya memengaruhi kesehatan mental dokter, tetapi juga kualitas pelayanan kesehatan yang mereka berikan. Ketika dokter merasa tidak dihargai dan diperlakukan seperti buruh, motivasi mereka untuk memberikan perawatan terbaik menurun drastis.
Sebagian akan mencari praktik atau pekerjaan tambahan untuk menyeimbangkan kebutuhan ekonomi, yang pada akhirnya membuat fokus terhadap pekerjaan utama menjadi terganggu. Hal itu membawa risiko serius terhadap keamanan dan keselamatan pasien.
Dampak sosial dari burnout pada dokter berefek pada penurunan kualitas layanan kesehatan. Dokter yang mengalami kelelahan emosional cenderung kehilangan fokus, membuat kesalahan medis atau bahkan menunjukkan kurangnya empati terhadap pasien. Hal itu dapat mengikis kepercayaan masyarakat terhadap sistem kesehatan. Lebih jauh krisis tersebut berpotensi memengaruhi persepsi publik terhadap profesi medis serta memicu gangguan pada keseimbangan kehidupan masyarakat akibat pelayanan medis yang tidak memadai.
Di sisi politik, burnout pada dokter dapat menjadi isu yang memengaruhi kebijakan dan stabilitas sistem kesehatan. Kondisi itu dapat dengan mudah dipolitisasi oleh pihak-pihak tertentu untuk mendiskreditkan pemerintah yang dianggap gagal memenuhi kebutuhan tenaga medis.
Dalam jangka panjang, jika tidak diatasi, hal itu dapat mengganggu stabilitas sistem kesehatan nasional. Apalagi jika banyak dokter memilih meninggalkan sektor publik atau bahkan profesi mereka. Jika banyak dokter berhenti, institusi kesehatan harus mengeluarkan biaya besar untuk pelatihan dan rekrutmen tenaga kerja baru. Dampaknya juga merambat hingga produktivitas masyarakat. Pasien yang menerima layanan kesehatan yang buruk akan mengalami masa penyembuhan lebih lama yang memengaruhi kemampuan mereka untuk bekerja secara optimal.
Mengembalikan kehormatan profesi dokter
Fenomena buruhisasi dokter perlu dihentikan. Itu membutuhkan langkah-langkah strategis yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan. Di antaranya ialah peningkatan otonomi profesional.
Dokter perlu diberi kebebasan lebih besar dalam mengambil keputusan klinis berdasarkan kebutuhan pasien, tanpa tekanan finansial atau administratif yang berlebihan. Organisasi profesi dan kolegium tidak boleh di bawah kendali pihak lain. Profesionalisme ialah basis pengetahuan dan mesti menjadi basis segala tindakan. Politik tidak bisa mengatasi profesionalisme.
Perbaikan sistem kompensasi diperlukan. Penerapan standar upah minimum profesi dan sistem pembayaran yang adil dapat membantu meningkatkan kesejahteraan dokter dan mencegah eksploitasi. Penggunaan teknologi yang efisien untuk tugas-tugas administratif dapat memberikan lebih banyak waktu bagi dokter untuk fokus pada pasien. Lingkungan kerja yang kondusif, jam kerja yang manusiawi, dan kompensasi yang layak perlu diberikan kepada dokter.
Profesi dokter ialah pilar utama dalam sistem kesehatan global. Fenomena buruhisasi dokter mengancam integritas dan kualitas profesi itu. Di tengah tantangan yang kompleks tersebut, diperlukan komitmen bersama dari pemerintah, penyedia layanan kesehatan, organisasi profesi dan masyarakat untuk mengembalikan kehormatan dan kesejahteraan profesi dokter.
Tanpa langkah-langkah nyata, degradasi status dokter tidak hanya akan merugikan para dokter, tetapi juga seluruh masyarakat yang bergantung pada layanan medis berkualitas.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved