Headline
Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.
Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.
Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.
E-VOTING atau electronic voting merupakan sistem pemilihan umum (pemilu) yang memungkinkan pemilih memberikan suara secara elektronik.
Suara elektronik ini disimpan secara digital dalam media penyimpanan seperti cartridge, disket, atau kartu pintar sebelum semuanya dikompilasi.
Para pendukung e-voting mengatakan sistem itu akan mengurangi biaya pemilu dan meningkatkan partisipasi masyarakat dengan membuat proses pemungutan suara lebih nyaman.
Pada 2004, sekitar 30% penduduk Amerika Serikat (AS) telah menggunakan teknologi itu termasuk dengan mesin sentuh rekaman langsung elektronik (DER) atau pemindai optik untuk pemilu presiden.
Namun, penduduk AS semakin lelah dengan mesin e-voting dan kehilangan kepercayaan bahwa sistem itu ialah teknologi yang tepat bagi demokrasi ‘Negeri Paman Sam’ itu.
Menurut situs The Hill, sejumlah negara bagian di AS telah meninggalkan e-voting dan memastikan sebagian besar penduduk memilih secara manual pada Pemilu 4 November tahun lalu.
“Hampir 70% pemilih memberikan suara secara manual,” ujar Pamela Smith, pengawas pemilu presiden AS, Verified Voting.
Mesin e-voting ditinggalkan karena sebagian besar telah berusia satu dekade, sementara negara bagian kekurangan dana untuk memperbaiki atau menggantinya. Akhirnya pejabat pemilu kembali menggunakan pensil dan kertas.
“Kertas, meskipun kedengarannya kuno, sebenarnya itu menjadi properti yang melayani pemilu dengan sangat baik,” ujar Smith.
Investasi federal terhadap mesin e-voting diketahui sebesar US$3 miliar. Sejak itu, banyak negara bagian gagal mempertahankan mesin tersebut karena kekurangan anggaran.
Kurangnya anggaran untuk mesin menjadi masalah besar karena peralatan elektronik cepat usang.
Menurut Smith, bahkan pejabat pemilu di Missouri pada 2012 telah mengeluh bahwa 25% peralatan mereka tidak berfungsi dalam pengujian sebelum pemilu.
Riskan diretas
Bukan hanya masalah perawatan, mesin e-voting juga berisiko tinggi diretas. Satu kelompok dari Princenton yang hanya membutuhkan waktu tujuh menit dengan peralatan retas sederhana untuk menginstal sebuah program yang memindahkan suara satu calon ke calon lainnya.
Lebih jenaka lagi, dua peneliti menunjukkan bahwa mereka bisa dengan mudahnya menginstal permainan Pac-Man ke mesin e-voting layar sentuh, tanpa meninggalkan jejak sama sekali tentunya.
Kegagalan mesin e-voting juga pernah terjadi pada pemilu presiden AS pada 2004. North Carolina kehilangan sekitar 4.500 suara setelah mesin e-voting berhenti menghitung. Hasil pemilu saat itu akhirnya diputuskan dengan kurang dari 2.000 suara.
“Akhirnya apa yang Anda lakukan? Anda benar-benar tidak bisa melakukan penghitungan ulang. Tidak ada yang dihitung,” ujar Smith.
Setelah itu, menurut Smith, dalam setahun, negara bagian mulai mengesahkan undang-undang (UU) yang membutuhkan dukungan dari sistem kertas. “Sistem kertas lebih tangguh,” tambahnya.
Ketika dikombinasikan dengan Jerman dan Belanda yang sudah terlebih dahulu meninggalkan e-voting, tren yang berkembang di AS seharusnya membuat Indonesia meninjau kembali rencana penggunaan sistem e-voting pada Pemilu 2019. (WhatIs/ManilaTimes/I-2)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved