Keluarga terpidana mati kasus narkoba Sergei Atlaoui asal Prancis dan Rodrigo Gularter asal Brazil, meninggalkan dermaga penyeberangan Wijayapura, usai melakukan kunjungan di Nusakambangan, Cilacap, Jateng, Selasa (20/2)(ANTARA/Idhad Zakaria)
DUTA Besar Prancis untuk Indonesia Corrine Breuze menyatakan negaranya
menentang hukuman mati yang dilakukan pada warga Prancis dengan alasan
apa pun.
"Sejak 1981, tidak ada warga negara Prancis yang dihukum mati, baik di Prancis maupun di negara mana pun di dunia. Namun, bagaimanapun juga, Prancis tetap menghormati hukum yang berlaku di Indonesia," kata Breuze dalam konferensi pers di Kedutaan Besar Prancis, Jakarta, kemarin. Pernyataan Breuze itu berkaitan dengan Sergei Atlaoui, warga Prancis, salah satu narapidana yang akan dieksekusi mati tahap kedua.
Pada kesempatan yang sama, Nancy Yuliana, kuasa hukum Atlaoui, menyatakan penolakan grasi bagi kliennya bukan keputusan final. "Dengan ditolaknya grasi, kami masih bisa melakukan peninjauan kembali (PK) karena grasi tidak mengikat."
Pihak kuasa hukum Atlaoui mengajukan PK ke Mahkamah Agung Republik Indonesia pada 10 Februari 2015 dan merupakan pengajuan PK pertama sejak Atlaoui dijatuhi hukuman mati pada 2007. PK itu, lanjut Nancy, diajukan atas dasar dugaan adanya kekhilafan yang dilakukan hakim. Sidang PK dijadwalkan pada 11 Maret mendatang. "Sampai saat ini, kami memang tidak memiliki bukti baru terkait dengan kasus ini. PK yang kami ajukan terkait kekhilafan yang dilakukan hakim dalam mengambil keputusan," ujar Nancy.
Istri Sergei, Sabine Atlaoui, yang ikut hadir menyatakan harapannya agar PK bisa berjalan dengan baik. Dubes Breuze juga berucap, "Saya harap proses tersebut bisa berjalan dengan adil sesuai dengan konvensi internasional hak asasi manusia."
Atlaoui divonis mati atas keterlibatan dalam pengoperasian pabrik ekstasi terbesar di Asia yang berlokasi di Cikande, Serang, Banten. Hukuman pertama yang dijatuhkan Pengadilan Tinggi Banten ialah penjara seumur hidup. Hukuman mati dijatuhkan setelah kasasi pada 2007 oleh Mahkamah Agung. (Pra/I-1)