Headline
Pemilu 1977 dan 1999 digelar di luar aturan 5 tahunan.
Bank Dunia dan IMF memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun ini di angka 4,7%.
MANTAN Presiden Israel, Shimon Peres, meninggal dunia, kemarin pagi, pada usia 93 tahun setelah dua pekan menderita stroke.
Presiden AS Barack Obama dan sejumlah pemimpin dunia akan menghadiri pemakaman salah seorang pendiri Israel moderen itu, Jumat (30/9).
"Warisan ayah kami selalu tentang masa depan. Sangat istimewa menjadi bagian dari keluarga pribadinya, tapi hari ini kami merasakan apa yang seluruh bangsa Israel dan komunitas global rasakan tentang kehilangan besar ini," kata putra Peres, Chemi Peres.
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menyampaikan pernyataan duka cita atas meninggalnya Peres, yang dirawat di rumah sakit pada 13 September setelah menderita stroke.
Dokter pribadi Peres, Rafi Walden, mengatakan bosnya itu meninggal di pembaringannya pada Rabu sekitar pukul 03.00 waktu setempat (07.00 WIB).
Pihak Sheba Medical Center di Tel Aviv, tempat Peres dirawat, mengumumkan kematian Peres pada pukul 03.40 waktu setempat.
Para pejabat Israel mengatakan jenazah Peres akan disemayamkan di Knesset (parlemen), Kamis (29/9), untuk memungkinkan masyarakat memberikan penghormatan terakhir.
Sementara itu, pemakamannya dijadwalkan Jumat (30/9) di Mount Herzl, permakaman nasional negara itu di Jerusalem.
Yona Atik, mantan asisten pribadi Peres, mengatakan setiap proses itu sejalan dengan keinginan Peres.
Peres dua kali menjabat perdana menteri Israel (1984-1986 dan 1995-1996) dan sekali menjabat presiden (2007-2014).
Dia merupakan salah seorang tokoh terakhir dari generasi politisi Israel yang terlibat dalam kelahiran bangsa baru itu pada 1948.
Atas perannya dalam negosiasi perjanjian damai dengan Palestina yang berbuah Perjanjian Oslo 1993, Peres meraih Hadiah Nobel Perdamaian pada 1994 bersama mendiang pemimpin Palestina Yasser Arafat dan PM Israel Yithzak Rabin, yang dibunuh ekstremis Yahudi.
"Kita hidup di suatu tanah purba," kata Peres kepada dunia yang menyaksikan upacara penandatanganan di halaman Gedung Putih kala itu.
"Tanah kita kecil, sehingga keharusan rekonsiliasi menjadi besar. Saya ingin memberi tahu delegasi Palestina bahwa kami tulus. Mari kita semua beralih dari peluru ke surat suara, dari senjata ke sekop," tambah Peres.
Namun, analis Timur Tengah, Yehia Ghanem, mengatakan banyak orang akan mengingat Peres sebagai 'penjahat perang', terutama terkait dengan pembantaian Qana pada 1996. Serangan Israel ke sebuah desa di Libanon saat Peres menjabat perdana menteri itu menewaskan sedikitnya 106 orang.
"Orang-orang yang memuji dia (Peres) mendukung Israel dan semua kejahatan yang ia perbuat sepanjang sejarahnya," kata Ghanem.
"Fakta bahwa ia memerintahkan pembantaian di Qana akan dipandang sebagai sebuah kejahatan perang," ujarnya. (AFP/BBC/Aljazeera/Hym)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved