Headline

Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Keluarga-Keluarga Gaza kembali ke Rumah Mereka yang Hancur

Wisnu Arto Subari
29/11/2023 20:08
Keluarga-Keluarga Gaza kembali ke Rumah Mereka yang Hancur
Warga Palestina memeriksa kehancuran akibat serangan Israel di Wadi Gaza, Jalur Gaza tengah, pada 28 November 2023.(AFP/Mahmud Hams.)

SANDWICH keju dan teh menjadi menu sarapan anak Taghrid al-Najjar. Seharusnya ini menjadi momen sehari-hari, tetapi rumah mereka di Jalur Gaza kini sebagian besar berupa puing-puing.

Dindingnya runtuh. Perabotan dan peralatan terkubur di bawah beton. Hingga perang terjadi, ibu berusia 46 tahun ini tidak pernah meninggalkan desa pertaniannya di sepanjang perbatasan dengan Israel di tenggara Jalur Gaza, Palestina.

Sejak Jumat (24/11), gencatan senjata telah menghentikan pertempuran antara Israel dan Hamas, sehingga memungkinkan mereka untuk kembali ke lingkungan yang hancur. "Hanya di sini saya merasa baik-baik saja," katanya.

Baca juga: Israel Jadikan Kota Jenin Zona Militer Perang, Kepung RS dan Kamp Pengungsi

Najjar melarikan diri ketika pengeboman Israel dimulai saat berperang dengan Hamas sebagai pembalasan atas serangan 7 Oktober. Selama berminggu-minggu dia tinggal bersama sembilan anggota keluarganya di sekolah Khan Yunis yang diubah menjadi kamp darurat bagi para pengungsi.

Najjar mengatakan puluhan orang di keluarga besarnya telah tewas. Segera setelah gencatan senjata mulai berlaku pada Jumat--kini telah diperpanjang dua hari lagi--dia mulai berjalan pulang ke Abasan dengan berjalan kaki.

Baca juga: Penyintas Genosida Nazi Menentang Pembantaian Israel di Gaza

"Saya menemukan bahwa rumah saya telah hancur total. Selama 27 tahun hidup saya untuk membangunnya dan semuanya hilang!" dia berkata.

"Selama dua hari saya tidak bisa makan. Lalu saya berkata pada diri sendiri bahwa saya harus terus hidup," tambahnya sambil menatap anak-anaknya.

"Rumah saya hancur tetapi anak-anak saya masih hidup. Jadi kami akan membangunnya kembali. Kami sudah melakukannya sekali. Kami bisa melakukannya lagi," katanya kepada AFP.

Setiap malam keluarga tersebut masuk melalui jendela untuk tidur di satu-satunya kamar yang dindingnya belum seluruhnya roboh. Setelah ada gencatan senjata permanen, kata Najjar, mereka akan mendirikan tenda sampai rumah berdiri lagi. 

Anak-anak trauma

Perhatian utama tetangganya yang berusia 64 tahun, Jamil Abu Azra, ialah keempat cucunya yang masih kecil. "Mereka bisa tidur di mana saja. Soalnya mereka takut dan trauma," ujarnya. "Bahkan kami orang dewasa pun takut, tetapi kami berpura-pura di depan anak kecil."

Di seberang jalan, Bassem Abu Taaima merenungkan hancurnya bangunan tempat tinggal keluarga dan keempat saudara laki-lakinya. "Kami semua petani atau sopir taksi. Kami sebenarnya tidak ada hubungannya dengan perlawanan," katanya mengenai kelompok bersenjata Palestina. "Jadi kami tidak mengerti mengapa semua ini terjadi kepada kami."

Dengan mengenakan jaket yang diberikan tetangganya, dan celana pendek meskipun cuaca sangat dingin, dia mengatakan dia akan menunggu sampai perang berakhir sebelum mendirikan tenda dan mulai membersihkan serta membangun rumah kembali.

Dia telah menjelajahi puing-puing untuk mencari pakaian hangat, meskipun semua yang dia temukan telah terbakar atau robek.

Sekolah hancur 

Di dekatnya, Naim Taaimat, 46, sedang membangun tempat berlindung bagi keluarganya dari kayu, kain, dan beberapa paku. "Di sinilah saya akan tinggal bersama istri saya, ketujuh anak kami, dan ibu saya setelah perang," katanya.

Lebih banyak tenda akan dibutuhkan karena sejumlah saudara laki-lakinya--masing-masing memiliki tujuh anak--juga kehilangan rumah mereka. Saudara-saudara itu berupaya membangun rumah tempat harta milik keluarga tersebut kini terkubur di bawah reruntuhan.

Prioritas pertama Taaimat ialah menemukan pakaian pengantin putrinya, Nivine, karena dia akan menikah minggu depan. Dia menggunakan palu untuk mencoba memecahkan balok beton sebelum mengaduk-aduknya dengan tangan kosong.

"Sekarang dia kehilangan rumahnya dan tunangannya juga kehilangan rumahnya. Jadi aku harus mencari sesuatu agar dia masih bisa sedikit bahagia."

Abdessamad yang berusia dua belas tahun menyela sambil berlari sambil berteriak. "Kami menemukan lampu listrik dan kami punya kayu untuk apinya!"

Duduk bersama teman-temannya di lantai tanah dekat sekolah PBB tempat dulu belajar, yang kini sebagian hancur akibat bom Israel, ia tertawa, bernyanyi, dan bercanda. "Perang benar-benar membuat kami takut dan mengerikan, tetapi ada kabar baik," kata temannya, Nabil, delapan tahun.

Sambil tertawa dan berharap orangtuanya tidak bisa mendengarnya, dia menjelaskan, "Sekolahnya hancur dan kami tidak akan bisa kembali untuk sementara waktu." (Z-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya