SATU tahun sudah konflik Ukraina dengan Rusia terjadi. Sampai kini belum ada tanda-tanda perang itu akan berakhir. Bahkan bukan tidak mungkin perang akan terus berkepanjangan dan berubah menjadi skala masif dengan melibatkan negara-negara besar lain.
Hal itu diungkapkan dosen Sastra Rusia Universitas Indonesia (UI) yang juga pemerhati masalah Rusia, Ahmad Fahrurodji, Rabu (22/2). Dia meyakini Rusia pastinya sudah menyiapkan diri untuk melakoni perang jangka panjang. Karena faktanya secara ekonomi Rusia juga tidak mengalami chaos meski diembargo negara-negara barat.
Meski begitu, jelasnya, Rusia juga butuh aliansi. Sebab kenyataannya saat ini yang terjadi adalah bukan lagi perang Ukraina melawan Rusia, melainkan Rusia dengan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO). Dengan kata lain perang yang terjadi saat ini bukan lagi semata perang militer namun juga perang ekonomi dan informasi. Ukraina saat ini sekadar medannya.
Menurutnya negara yang paling mungkin untuk diajak berkoalisi oleh Rusia adalah Tiongkok yang saat ini hubungannya dengan Amerika Serikat tidak sedang baik-baik saja. Negara lain yang juga siap bergabung dengan Rusia adalah Iran dan Korea Utara yang memang sudah lama berseteru dengan Amerika Serikat.
"Kemungkinan bergabungnya Tiongkok tentu bukan sesuatu yang diharapkan Amerika. Sebab hal itu akan membuat perang semakin berkepanjangan dan bahkan berpotensi memicu perang dunia ketiga," jelasnya.
Di sisi lain, Tiongkok juga berkepentingan dengan Rusia sebagai mitra strategis dalam pengembangan militer. Apalagi berbagai analis memprediksi bahwa Taiwan akan menjadi medan perang selanjutnya setelah Ukraina dengan Tentara Pembebasan Rakyat menyerbu negara pulau tersebut. Padahal jika itu terjadi, saat itu Amerika dan sekutunya boleh jadi sudah kehabisan energi akibat perang di Ukraina.
"Bisa dibilang bola kini di tangan Tiongkok. Saya percaya mereka juga tidak akan sembrono menceburkan diri ke medan perang. Karena bagaimanapun perang membutuhkan cost yang besar," ujarnya.
"Jika Tiongkok bisa menawarkan resolusi perdamaian yang membuat semua pihak tidak harus kehilangan muka, boleh jadi konflik Ukraina dengan Rusia bisa berhenti. Dan sepertinya hanya itu satu-satunya cara," lanjut Fahrurodji.
Ia menambahkan, sebagai pewaris utama emperium Uni Soviet, Rusia tentu tidak mau menyerah begitu saja. Rusia, jelasnya, tidak akan menyerah seperti pernyataan sejumlah pejabat Eropa, termasuk Presiden Amerika Serikat Joe Biden yang menyebut Rusia akan kalah di Ukraina.
"Soal pernyataan (Joe) Biden dan pemimpin Eropa lainnya yang menyebut Rusia akan kalah di Ukraina, saya pikir itu cuma semacam psy war. Karena sejumlah analis NATO sendiri mengakui Rusia bukan lawan yang mudah. Keputusan Putin untuk keluar dari perjanjian nuklir itu bukan keputusasaan, melainkan tekanan untuk Barat," tegasnya.
Meski begitu, ia juga menyebut baik Rusia maupun Ukraina sejatinya tidak memetik keuntungan sama sekali dalam perang tersebut. Sebaliknya justru perusahan senjata AS lah yang kini menangguk untung.
"Ukraina saat ini tidak punya pilihan. Mereka tidak lagi punya kemerdekaan. Seandainya, Presiden Ukraina (Volodymyr Zelensky) tidak egois tetapi benar-benar membela rakyatnya serta mau mendengarkan permintaan Rusia untuk bersikap netral dengan tidak bergabung dengan NATO, semuanya mungkin baik-baik saja. Kita berharap saja semoga ada solusi. Dan itu sepertinya ada di tangan Tiongkok," ujarnya. (OL-15)