AMERIKA Serikat telah menetapkan kekerasan terhadap minoritas Rohingya yang dilakukan oleh militer Myanmar merupakan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Ratusan ribu komunitas Rohingya yang sebagian besar Muslim telah melarikan diri dari Myanmar yang mayoritas beragama Buddha sejak 2017 setelah tindakan keras militer yang sekarang menjadi subjek kasus genosida di pengadilan tertinggi PBB di Den Haag.
Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken akan secara resmi mengumumkan keputusan untuk menetapkan tindakan keras itu sebagai genosida dalam sambutannya di Museum Holocaust di Washington pada Senin (21/3), di mana sebuah pameran tentang "Jalan Burma menuju Genosida" dipajang.
Pada Desember tahun lalu, Blinken mengatakan selama kunjungan ke Malaysia, Amerika Serikat mencari apakah perlakuan terhadap Rohingya mungkin merupakan genosida.
Departemen Luar Negeri AS merilis sebuah laporan pada 2018 yang merinci kekerasan terhadap Rohingya di negara bagian Rakhine sebagai ekstrem, berskala besar, meluas, dan tampaknya diarahkan untuk meneror penduduk dan mengusir penduduk Rohingya.
Sekitar 850.000 Rohingya mendekam di kamp-kamp di negara tetangga Bangladesh, menceritakan pembunuhan massal dan pemerkosaan, sementara 600.000 anggota komunitas lainnya tetap berada di Rakhine di mana mereka melaporkan penindasan yang meluas.
Penyebutan hukum genosida - yang didefinisikan oleh PBB sebagai tindakan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan, secara keseluruhan atau sebagian, kelompok nasional, etnis, ras atau agama - dapat diikuti dengan sanksi lebih lanjut dan pembatasan bantuan, antara lain hukuman terhadap junta militer yang sudah terisolasi.
Baca juga: PBB Sebut Tentara Myanmar Lakukan Kejahatan Perang
Amerika Serikat menjatuhkan serangkaian sanksi pada para pemimpin negara itu dan seperti negara-negara Barat lainnya telah lama membatasi senjata untuk angkatan bersenjatanya, yang bahkan sebelum junta mengambil alih kekuasaan menghadapi tuduhan kejahatan terhadap kemanusiaan untuk serangan brutal terhadap Rohingya.
Kasus yang dibuka terhadap Myanmar oleh Gambia di Mahkamah Internasional pada 2019 telah diperumit oleh kudeta tahun lalu yang menggulingkan pemimpin sipil Aung San Suu Kyi dan pemerintahnya.
Peraih Nobel perdamaian, yang menghadapi kritik dari kelompok hak asasi manusia atas keterlibatannya dalam kasus Rohingya, sekarang berada di bawah tahanan rumah dan diadili oleh jenderal yang sama yang dia bela di Den Haag.(AFP/OL-5)