Headline
Presiden Prabowo berupaya melindungi nasib pekerja.
Laporan itu merupakan indikasi lemahnya budaya ilmiah unggul pada kalangan dosen di perguruan tinggi Indonesia.
PANDEMI covid-19 kini telah menyebabkan lebih dari 2 juta orang meninggal di seluruh dunia. Sekjen Perserikatan Bangsa-Bangsa Antonio Guterres meratapi dampak virus yang dahsyat ini.
“Dunia kita telah mencapai tonggak yang menyayat hati,” kata Guterres mengumumkan pada Jumat (15/1).
Politikus Portugis itu pun menyerukan solidaritas global yang lebih besar untuk mendanai vaksinasi dan kedekatan warga untuk tetap berpegang pada protokol kesehatan, seperti menjaga jarak dan menggunakan masker.
Data dari Universitas Johns Hopkins menunjukkan perkiraan covid-19 terbaru dicapai pada Jumat, dengan rata-rata 11.900 kematian harian tahun ini. Angka ini menunjukkan bahwa setiap 8 detik ada seseorang yang kritis karena covid-19.
Jumlah kematian global mencapai satu juta pada akhir September, sembilan bulan setelah virus korona pertama kali terdeteksi di Kota Wuhan, Tiongkok. Namun, kini hanya butuh lebih dari tiga bulan untuk mencapai dua kali lipat dari angka tersebut.
Pejabat kesehatan Norwegia mengungkapkan, setidaknya 23 orang meninggal dalam beberapa hari seusai menerima dosis pertama vaksin covid-19 Pfizer, 13 di antaranya merupakan pasien panti jompo berusia sekitar 80 tahun. Kematian ini diduga terkait dengan efek samping vaksin.
“Reaksi umum terhadap vaksin, termasuk demam dan mual, mungkin telah berkontribusi pada hasil yang fatal pada beberapa pasien yang kondisinya lemah," kata Kepala Dokter di Badan Obat Norwegia Sigurd Hortemo dalam sebuah pernyataan, Jumat (15/1).
Lebih dari 30.000 warga di Norwegia telah menerima suntikan pertama vaksin covid-19 milik Pfizer atau Moderna sejak akhir bulan lalu.
Pada Kamis (14/1), badan tersebut melaporkan bahwa total 29 orang mengalami efek samping, termasuk 13 orang yang meninggal.
Varian baru
Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) AS memperingatkan bahwa varian baru covid-19 yang pertama kali ditemukan di Inggris berpotensi menjadi varian dominan yang beredar di Amerika Serikat pada Maret mendatang.
Varian yang dikenal sebagai B.1.1.7 ini diyakini dua kali lebih mudah menular dari versi virus yang saat ini beredar di AS. Namun, belum ada bukti bahwa varian baru tersebut menyebabkan penyakit yang lebih parah atau ditularkan secara berbeda.
“Penyebarannya yang cepat akan meningkatkan beban pada sumber daya kesehatan,” kata CDC, Jumat (15/1). (Aiw/The Guardian/NYPost/Aljazeera/I-1)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved