Headline
Program Makan Bergizi Gratis mengambil hampir separuh anggaran pendidikan.
Program Makan Bergizi Gratis mengambil hampir separuh anggaran pendidikan.
PENYANDERAAN 10 orang WNI oleh milisi Abu Sayyaf di selatan Filipina, dinilai pengamat terorisme Nasir Abbas murni karena pemerasan. Menurut Nasir, Abu Sayyaf tidak melihat apa keyakinan yang dipeluk korbannya.
“Mereka acak saja, ada Muslim, ada bukan Muslim. Inti persoalannya bukan di situ, kapal ini kan bawa barang berharga, bawa batubara. Jadi ini milik perusahaan yang kaya. Jadi yang dipertaruhkan itu bukan orang disandera. Ini ada permintaan tebusan. Ini adalah bentuk pemerasan terhadap perusahaan (semata),” ungkap Nasir.
Sebelumnya, pada pertengahan 2014, kelompok separatis yang terdiri dari milisi Islam dan berbasis di kepulauan selatan Filipina, seperti Jolo, Basilan, dan Mindanao itu, disebut-sebut telah berbaiat kepada kelompok yang menamakan diri mereka Negara Islam (IS)
Menurut Nasir, Abu Sayyaf hanya ikut-ikutan saja bergabung dengan IS. Perbuatan yang mereka lakukan itu, sudah lebih dalu dari IS. "Masalah menculik, membunuh, mereka sudah lebih dahuluan dari IS,” jelasnya.
Sejak terpecah dari kelompok induknya, Moro National Liberation Front atau MNLF pada pertengahan 1980an, Abu Sayyaf telah menculik ratusan orang.
Mayoritas yang disandera adalah orang Filipina dan orang kulit putih. Tidak jarang sandera tersebut dibunuh, terutama yang tidak memenuhi permintaan tebusan.
Terakhir, pada November 2015, turis Malaysia, Bernard Ghen Ted Fen dibunuh setelah keluarga gagal memenuhi tebusan 40 juta peso Filipina atau setara Rp12 miliar.
Nasir Abbas, yang pernah menjadi anggota kelompok separatis di Filipina mengungkapkan, Abu Sayyaf, berbeda MNLF, dan pecahan lain MNLF, Moro Islamic Liberation Font (MILF). Meskipun sama-sama memeluk Islam dan memperjuangkan kemerdekaan dari Filipina, Abu Sayyaf dikatakan Nasir, lebih tidak terkontrol, karena anggotanya bergabung karena solidaritas, cenderung tidak berpendidikan dan minim pengetahuan, sehingga bergerak melakukan perlawanan karena merasa terintimidasi dan didiskriminasi oleh pemerintah Filipina.
“Mereka seperti gerombolan-gerombolan dengan banyak sel. Pimpinannya saja tidak tahu berapa jumlah anggotanya," imbuh Nasir. (BBC/OL-2)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved