Pilpres Meretakkan Hubungan Keluarga di AS

MI
03/11/2020 23:40
Pilpres Meretakkan Hubungan Keluarga di AS
Seorang warga Amerika Serikat sedang menggunakan hak pilihnya di pemilihan Presiden Amerika Serikat(AFP)

SEORANG warga Amerika Serikat, Mayra Gomez, memberi tahu putranya yang berusia 21 tahun bahwa dia akan memilih Donald Trump dalam pemilihan presiden. Hal itu membuat putranya marah dan memutuskan hubungan darah mereka.

“Dia mengatakan saya bukan ibunya lagi karena memilih Trump,” keluh Gomez, 41. Percakapan terakhir mereka begitu pahit sehingga Gomez tidak yakin mereka dapat berdamai bahkan jika Trump kalah sekalipun.

Gomez tidak sendirian. Banyak yang mengalami perpecahan di dalam keluarga dan teman-teman akibat perbedaan pilihan dalam Pilpres AS. Dalam wawancara dengan 10 pemilih, hanya sedikit yang mengatakan dapat memperbaiki hubungan pribadi yang terputus. Sebagian besar percaya hubungan pribadi mereka hancur selamanya karena perbedaan pandangan politik.

Laporan Pew Research Center, misalnya, menemukan bahwa hampir 80% pendukung Trump dan Biden tidak memiliki teman yang mendukung kandidat lainnya. Adapun studi oleh lembaga polling Gallup menemukan terjadinya rekor baru untuk polarisasi partai pada tahun ketiga Trump menjabat.

Sementara itu, 89% dari Partai Republik menyetujui kinerja Trump pada 2019, hanya 7% dari Demokrat yang mengakui dia bekerja dengan baik.

Pemilih dari Partai Demokrat, Rosanna Guadagno, 49, mengatakan kakaknya memutuskan hubungan setelah dia menolak mendukung Trump empat tahun lalu. Tahun lalu, ibunya menderita stroke, tetapi sang kakak, yang tinggal di kota yang sama dengan ibunya, tidak
memberi tahunya saat ibu mereka meninggal enam bulan kemudian. “Saya dikucilkan dan itu menghancurkan,” kata Guadagno.

Menurut Jaime Saal, psikoterapis di Rochester Center for Behavioral Medicine di Rochester Hills, Michigan, tidak akan mudah melakukan rujuk nasional setelah pilpres di Amerika Serikat. “Ini membutuhkan waktu dan usaha. Kedua pihak jangan main-main dan harus bersedia untuk melepaskan masalah serta bergerak maju,” katanya.

Jay J van Bavel, profesor psikologi dan ilmu saraf di Universitas New York, mengatakan sektarianisme politik di AS tidak hanya menjadi masalah kesukuan, tetapi juga moral. “Karena Trump telah menjadi salah satu tokoh paling terpolarisasi dalam sejarah Amerika seputar nilai dan masalah inti, orang tidak mau berkompromi,” kata Van Bavel. (Faustinus Nua/AFP/X11)


 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Msyaifullah
Berita Lainnya