Headline

Presiden memutuskan empat pulau yang disengketakan resmi milik Provinsi Aceh.

Fokus

Kawasan Pegunungan Kendeng kritis akibat penebangan dan penambangan ilegal.

Perilaku Tiongkok di LCS Bertentangan dengan Hukum Internasional

Haufan Hasyim Salengke
11/8/2020 07:24
Perilaku Tiongkok di LCS Bertentangan dengan Hukum Internasional
Armada Angkatan Laut Tiongkok melakukan patroli di Laut China Selatan(AFP/STR)

PENINGKATAN eskalasi di Laut China Selatan (LCS) terjadi akibat saling reaksi antara militer Tiongkok dan Amerika Serikat (AS) dalam beberapa pekan terakhir, termasuk dengan militer Taiwan dan Jepang.

Masalah di LCS muncul saat Tiongkok mengklaim sekitar 80% wilayah perairan itu sebagai bagian dari negaranya melalui konsep 9 titik imaginer atau nine dash line.

Meski sudah resmi kalah di pengadilan arbitrase internasional pada 2016, Beijing, hingga kini, masih tidak mengakui keputusan tersebut.

Hal itu membuat ketegangan kerap terjadi antara Tiongkok dan sejumlah negara di ASEAN. Di samping bermasalah dengan Malaysia, Vietnam, Brunei, dan Filipina, Beijing juga secara sepihak mengklaim Laut Natuna sebagai sebagai wilayah penangkapan ikan tradisional mereka.

Baca juga: Raja Media Hong Kong Ditangkap dengan UU Keamanan

Pakar dan pengajar Hubungan Internasional Universitas Padjadjaran Teuku Rezasyah menyatakan perilaku Tiongkok tersebut bertentangan dengan hukum internasional yang mengedepankan terpeliharanya hubungan baik antarbangsa secara damai.

Ia memandang tuntutan Tiongkok mengancam negara-negara di Asia Pasifik secara fisik dan psikologis, terutama sekali terhadap negara-negara di Tenggara dan Asia Timur. Pasalnya, mereka secara langsung menyaksikan daya ledak dan daya hancur dari kekuatan militer Tiongkok, baik konvensional maupun nuklir.

“Kekhawatiran atas Tiongkok meningkat, seiring ancaman balasan dari Tiongkok atas negara mana pun yang dianggapnya menentang ambisi teritorial mereka di Laut China Selatan,” ujar Rezasyah kepada Media Indonesia, Senin (8/10) malam.

Klaim lebih lanjut terhadap Laut Natuna--yang mengarah pada pelanggaran ZEE Indonesia oleh nelayan Tiongkok--dinilai Rezasyah berpotensi menciptakan bentrokan dengan nelayan Tanah Air dan selanjutnya membunuh potensi nelayan di nusantara.

Kehadiran Coast Guard Tiongkok di belakang para nelayan ini juga berpotensi bentrok dengan Bakamla dan TNI AL, yang dapat menuju sebuah konflik bilateral terbatas.

“Dapatlah dimengerti, karena mengantisipasi konflik terbatas di Laut Natuna Utara ini, Indonesia telah menjadikan Pulau Natuna sebagai kawasan yang terintegrasi dengan seluruh Kogabwilhan. Dalam hal ini, siap menyelenggarakan berbagai operasi laut dan udara guna menegakkan kedaulatan,” terangnya.

Etika perilaku

Sementara itu, hingga kini, pembahasan kode etik berperilaku atau Code of Conduct (CoC) di Laut China Selatan--kunci membangun perdamaian di kawasan itu--belum berujung ke kesepakatan.

Rezasyah menggarisbawahi dokumen itu sulit sekali dibuat karena Tiongkok menolak berdialog dengan 10 negara ASEAN namun ingin berdialog secara bilateral saja.

Beijing senantiasa mengaitkan draft yang dirancang ASEAN dalam kerangka pelibatan Amerika Serikat dan para sekutu Barat untuk di masa depan mengurung Tiongkok.

“CoC jika berhasil dibuat, dapat menjadikan Kawasan LCS sebagai wilayah yang damai, aman, dan netral,” ujarnya.

Ia menekankan tantangan-tantangan LCS di masa depan seputar kegiatan mata-mata dari Amerika Serikat dan Tiongkok guna saling mengamati posisi pihak-pihak yang memiliki tuntutan kewilayahan.

Selanjutnya, keterlibatan negara-negara Besar dalam berbagai latihan militer di perairan internasional, meningkatnya aksi penerobosan wilayah ZEE Indonesia oleh kapal nelayan Tiongkok, dan meningkatnya latihan militer Filipina, Malaysia, dan Vietnam secara bilateral dan multilateral dengan Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya. (OL-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya