Headline
Mantan finalis Idola Cilik dan kreator konten juga memilih menikah di KUA.
Mantan finalis Idola Cilik dan kreator konten juga memilih menikah di KUA.
Ketegangan antara Thailand dan Kamboja meningkat drastis sejak insiden perbatasan
SELAMA berabad-abad di sebuah pulau kecil di Laut Baltik, perempuan berjilbab dan rok merah bergaris telah melakukan sebagian besar pekerjaannya, mulai bertani hingga pemeliharaan mercusuar, memimpin layanan gereja, dan bahkan berpakaian seperti Santa saat Natal.
Sementara itu, para lelaki di Pulau Kihnu, 10 kilometer di lepas pantai Estonia, pergi memancing di laut selama bermingguminggu
atau berbulanbulan, meninggalkan para perempuan untuk menjalankan apa yang sering disebut sebagai salah satu masyarakat matriarkal terakhir di Eropa.
Pariwisata juga telah menjadi sumber pendapatan yang penting bagi pria dan perempuan, tetapi hanya selama tiga bulan musim panas. Hingga 30.000 pengunjung setahun datang untuk mengalami cara hidup Kihnu yang tak tersentuh. Mata pencaharian tradisional Kihnu lainnya ialah menenun pakaian dan merajut sarung tangan atau kaus kaki yang bermotif rumit.
Namun, cara hidup bersejarah Kihnu sekarang terancam karena kesulitan ekonomi mendorong semakin banyak penduduk pulau mencari pekerjaan. Sejak kehancuran ekonomi global melanda Estonia pada tahun itu, populasi pulau sepanjang tahun telah
berkurang setengahnya.
“Di sekitar setiap meja dapur, setiap hari kami membahas bagaimana cara bertahan hidup,” kata pemandu resmi dan pembela
warisan Kihnu, Mare Matas. “Meskipun 686 orang tercatat tinggal di pulau itu, hanya 300 orang yang melakukannya sepanjang tahun,” kata Matas, ibu empat anak, 45, yang berperan penting dalam mengamankan pengakuan UNESCO terhadap warisan budaya tak benda Kihnu pada 2008.
Pulau seluas 16 kilometer persegi itu hanya memiliki beberapa jalan beraspal, dua toko makanan kecil, museum, gereja, dan sekolah dasar dengan 36 anak, turun dari lebih dari 100 beberapa tahun yang lalu.
“Anjing laut dan burung cormorant adalah masalah terbesar,” kata nelayan Margus Laarents ketika dia mengasapi sekumpulan ikan
yang baru saja ditangkap di atas wajan di belakang rumahnya. Kedua spesies itu diberi status dilindungi oleh Uni Eropa setelah hampir mati pada pertengahan abad terakhir karena perburuan.
Akibatnya, jumlah mereka melonjak di perairan Estonia sejak pertengahan 1980-an, menguras stok ikan lokal. Studi lain juga
menyalahkan penangkapan ikan yang berlebihan dan polusi air untuk populasi ikan yang menyusut. Margus dan istrinya, Marge, mengatakan mereka tidak bisa lagi hidup dari pendapatan mereka dari laut.
Seperti banyak orang di pulau itu, pasangan ini menopang diri mereka sendiri dengan memelihara hewan dan menanam makanan, meskipun banyak nelayan telah pergi untuk mencari pekerjaan konstruksi di Norwegia atau Finlandia. Bertahun-tahun yang lalu, kenang Merasse Salme, 68, pemandangan suaminya, Oskar, yang membantu pekerjaan pertanian di pulau itu akan menarik banyak perhatian. “Oskar adalah salah satu pria pertama yang bekerja di ladang,” ujarnya. (AFP/Nur Avianni/X-11)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved