Headline

Dalam suratnya, Presiden AS Donald Trump menyatakan masih membuka ruang negosiasi.

Fokus

Tidak semua efek samping yang timbul dari sebuah tindakan medis langsung berhubungan dengan malapraktik.

Musik dan Kontestasi Politik

Haufan Hasyim Salengke
22/12/2019 19:55
Musik dan Kontestasi Politik
Partisipasi remaja AS dalam kegiatan politik. Musik kerap digunakan para kandidat presiden di AS dalam kegiatan poilitik mereka.( AFP/Alex Edelman )

DI Indonesia, musik, umumnya dangdut, kerap digunakan dalam kegiatan kampanye politik. Tujuannya sekadar menarik kerumunan massa. Lagu yang dilantunkan pun tak ada hubungan dengan misi para kandidat.   

Lain halnya di Amerika Serikat. Pada setiap kampanye, Elizabeth Warren, kandidat Partai Demokrat untuk kursi kepresidenan Amerika Serikat, menunggu untuk mendengar nada pertama penyanyi populer Dolly Parton yang menyanyikan "9 To 5", sebelum melangkah dengan penuh semangat ke atas panggung untuk menyambut para pendukung yang sangat antusias.

Latar belakang musikal dari ritual kampanye ini menggambarkan kesibukan sehari-hari para pekerja Amerika: "Bersiaplah pukul 9 hingga 5.

Pilihan lagu sang senator ini (yang lain dalam daftar favoritnya termasuk Everyday People yang dilantunkan Joan Jett and The Blackheart dan Respect milik Aretha Franklin), ditujukan untuk memberikan dorongan emosional kepada para pendukung sambil membangkitkan akar kelas pekerja.

Kandidat progresif dari Massachusetts berusia 70 tahun itu berkompetisi untuk mendapatkan dukungan pemilih dalam rivalitas untuk menghadapi Presiden Donald Trump dalam pemilihan November tahun depan.

"Musik yang digunakan oleh para kandidat dipilih dengan sangat hati-hati untuk menarik perhatian audiens tertentu atau membentuk image kandidat yang selaras dengan para pemilih," kata Associate Professor Jacob Neiheisel, seorang ilmuwan politik dari University at Buffalo (New York), kepada AFP, Minggu (22/12).

Senator Bernie Sanders, seorang sosialis demokrat yang penuh semangat merupakan kandidat tertua dalam rivalitas pemilihan tahun ini, membuka aksi unjuk rasa militan dengan Power To The People karya John Lennon, sebuah ode perlawanan era 1970-an. Dia juga menyukai "Takin 'It To The Streets" milik band The Doobie Brothers.

Sementara kandidat populer Demokrat, Joe Biden, yang menganut julukan "Joe Kelas Menengah", secara teratur mengakhiri kampanyenya dengan penyanyi country Kenny Chesney ("For the teacher in the classroom, kid kickin' cans in the street/...We say we can when they say we can't").

Musik country sangat populer di jantung Amerika, khususnya di antara pemilih yang lebih konservatif.

Biden menjabat delapan tahun sebagai wakil presiden mantan Presiden Barack Obama dan tidak pernah melewatkan kesempatan untuk menyoroti hubungannya dengan presiden kulit hitam pertama negara itu. Ia memasukkan artis kulit hitam dan putih yang jumlahnya hampir sama di playlist-nya.

Adapun Julian Castro, satu-satunya kandidat Hispanik dari Partai Demokrat, sangat menyukai musik Latin, terutama karya mendiang bintang Meksiko-Amerika, Selena. Dia sepertinya berusaha menjangkau demografi penting menjelang pemilihan umum 2020.

Musik juga memungkinkan para kandidat untuk menciptakan momen-momen yang tak terlupakan, sebuah pendekatan yang telah teruji oleh waktu.

Mantan Presiden Bill Clinton, seorang Demokrat dan penggemar berat jazz, misalnya, memainkan cara ini dengan sukses ketika ia menampilkan "Heartbreak Hotel" Elvis Presley dalam penampilan talk show televisi selama kampanye 1992.

Berdasarkan data, kandidat dari Partai Demokrat umumnya diterima lebih baik di tengah kalangan anak muda daripada lawan mereka dari Partai Republik, dan musik membantu mereka menembus kerumunan berusia 18-25 tahun, sebuah demografi kunci untuk dapat dimobilisasi sebagai pemilih.

Di pihak Republik, Donald Trump menyukai musik populer dan patriotik dalam unjuk rasanya, seperti "God Bless The U.S.A." karya Lee Greenwood, sebuah lagu country dari 1980-an yang jelas bertujuan untuk menarik basis politiknya.

Namun, beberapa pilihan lagu dia juga tak jarang menunai kontroversi.

Ketika para pembantu Trump memainkan lagu memukau Luciano Pavarotti "Nessun Dorma" dalam kampanyenya, sebuah lagu yang dimaksudkan untuk memberikan rasa keagungan di antara lautan para pendukung, keluarga almarhum sang penyanyi malah memprotesnya.

Tak hanya Pavarotti, beberapa artis lain atau ahli warisnya seperti the Rolling Stones yang lagunya You Can't Always Get What You Want yang dicomot Trump untuk kampanye juga protes. Begitu juga lagu milik Queen, Adele, R.E.M., dan Neil Young, keberatan lagu mereka dipakai untuk konvensi Partai Republik. (A-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Adiyanto
Berita Lainnya