Headline
RI dan Uni Eropa menyepakati seluruh poin perjanjian
Indonesia memiliki banyak potensi dan kekuatan sebagai daya tawar dalam negosiasi.
TERSANGKA pelaku penembakan massal di El Paso, Texas, Amerika Serikat (AS), mengaku dirinya mengincar kalangan warga Meksiko.
Patrick Crusius melepaskan tembakan di Walmart di El Paso pada 3 Agustus yang menewaskan 22 orang. Pria berusia 21 tahun itu kini didakwa pembunuhan berencana dan ditahan tanpa jaminan.
“Saat menyerah, tersangka mengaku dan mengatakan kepada polisi bahwa ia menargetkan ‘orang Meksiko’,” menurut keterangan tertulis polisi El Paso yang dirilis pada Jumat, yang dikutip AFP, Sabtu, 10 Agustus 2019.
Crusius melepaskan tembakan dan membunuh 22 orang dan melukai puluhan lainnya tak lama setelah sebuah manifesto muncul di internet menjelaskan motivasinya dan mengutuk invasi Hispanik ke Amerika Serikat. Kebanyakan dari mereka yang dinyatakan meninggal dalam penembakan ini memiliki nama-nama Hispanik.
Menggunakan senjata serbu AK47, Crusius melepaskan tembakan sporadis ke arah warga di El Paso. Wilayah ini memang banyak warga Meksiko yang datang untuk berbelanja atau bahkan menetap untuk bekerja.
Pihak berwenang mengatakan, Crusius berkendara selama 11 jam dari kota kelahirannya Allen, Texas, di dekat Dallas, untuk melakukan pembantaian di kota El Paso yang mayoritas penduduknya Hispanik. Pihak berwenang mengatakan penembakan massal sedang diselidiki sebagai kejahatan rasial dan tindakan terorisme domestik.
Debat pengendalian senjata
Kejadian di El Paso diikuti dengan penembakan serupa di Dayton, Ohio. Penembakan menewaskan sembilan orang, termasuk saudara perempuan pelaku sendiri.
Segera setelah dua penembakan dalam waktu 24 jam, warga AS mendesak agar segera dilakukan pengendalian peredaran senjata.
Presiden Donald Trump mengunjungi kedua kota yang menjadi lokasi penembakan pada Kamis dan disambut dengan dengan unjuk rasa yang menuduhnya mengobarkan ketegangan dengan retorika antiimigran dan ras.
Kandidat presiden dari Partai Demokrat menuduh Trump mendorong sentimen nasionalis kulit putih yang rasis dan antiimigran. Mereka mengatakan Trump telah menciptakan iklim politik yang kondusif bagi kekerasan berbasis kebencian.
Trump menyarankan pada Jumat ia dapat membujuk kelompok lobi National Rifle Association (NRA) yang kuat untuk memblokir keinginan untuk pembatasan senjata. Penembakan massal baru-baru ini yang memicu kembali perdebatan kontrol senjata.
Hampir setengah dari semua orang Amerika percaya penembakan massal lain di Amerika Serikat sangat mungkin segera, menurut jajak pendapat publik Reuters / Ipsos yang dirilis pada hari Jumat.
Pejabat Gedung Putih dan perusahaan media sosial besar bertemu pada Jumat untuk berbicara tentang cara mengekang ekstremisme online setelah penembakan tetapi Gedung Putih menolak untuk mengomentari siapa yang mengambil bagian dalam sesi tertutup. (Medcom/OL-11)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved