Headline

Presiden memutuskan empat pulau yang disengketakan resmi milik Provinsi Aceh.

Fokus

Kawasan Pegunungan Kendeng kritis akibat penebangan dan penambangan ilegal.

Militer dan Demonstran Menyepakati Pembagian Kekuasaan Sudan

Tesa Oktiana Surbakti
17/7/2019 18:20
Militer dan Demonstran Menyepakati Pembagian Kekuasaan Sudan
Kronologis Krisis Sudan(AFP)

MILITER Sudan dan gerakan pro-demokrasi menandatangani perjanjian politik, yang menjadi bagian dari kesepakatan pembagian kekuasaan. Langkah itu bertujuan mengakhiri krisis Sudan, setelah kebuntuan negosiasi dalam beberapa pekan terakhir.

Kedua pihak, yakni perwakilan dewan militer dan koalisi Pasukan Kebebasan dan Perubahan (FFC), menandatangani deklarasi politik. Penandatanganan salah satu dokumen kesepakatan, berlangsung di Khartoum. Dokumen lainnya, deklarasi konstitusional, kemungkinan akan ditandatangani dalam beberapa hari ke depan.

Baca juga: Australia Minta Tiongkok tak Halangi Kepergian Warga Uyghur

Penandatanganan tersebut menjadi langkah penting dalam transisi Sudan. Mengingat, aksi protes selama berbulan-bulan memenuhi sejumlah ruas jalan utama. Gerakan unjuk rasa mendorong militer untuk menggulingkan pemimpin otokratis, Omar al-Bashir, dan mengambil alih kekuasaan pada April lalu. Namun, para demonstran yang awalnya mendukung penggulingan al-Bashir, kemudian mendesak militer untuk menyerahkan kekuasaan kepada otoritas sipil.

Awal bulan ini, iliter dan gerakan pro-demokrasi, yang mewakili aksi massa, menyepakati dewan pemerintah gabungan yang akan memerintah Sudan selama tiga tahun. Sementara itu, pemilihan umum (pemilu) tetap diselenggarakan.

Kesepakatan pembagian kekuasaan, yang juga mencakup kabinet usulan gerakan pro-demokrasi, bertujuan mengakhiri kebuntuan antara kedua pihak, sejak aksi protes di Khartoum diserang pasukan keamanan. Organisator demonstran menyebut tindakan keras pasukan keamanan telah menewaskan 128 orang. Akan tetapi, otoritas berwenang mengklaim jumlah korban sekitar 61 orang, termasuk 3 anggota pasukan keamanan.

Pada 30 Juni, puluhan ribu demonstran turun ke jalanan di Khartoum, yang menjadi aksi protes terbesar. Setidaknya 11 orang tewas dalam bentrokan dengan pasukan keamanan. Akhirnya, kedua pihak memulai kembali perundingan, dan menyepakati penyelidikan independen Sudan atas operasi penumpasan mematikan. Namun, belum jelas apakah terdapat pihak yang akan dimintai pertanggungjawaban.

Baca juga: AS Jatuhkan Sanksi Terhadap Petinggi Militer Myanmar

"Kami mengantarkan sebuah era baru. Pemerintahan ke depan adalah pemerintah yang mewakili semua rakyat Sudan. Kami sudah lama menderita di bawah rezim diktator," tegas Ibrahim al-Amin, salah satu perunding dari pihak pengunjuk rasa.

Wakil kepala dewan militer, Jenderal Mohammed Hamdan Dagalo, mengapresiasi penandatanganan kesepakatan sebagai momen bersejarah di Sudan. Ditambah, perwakilan kedua pihak saling berjabat tangan. Perkembangan positif menyusul upaya intensif, berikut tekanan dari kekuatan regional dan internaisonal. Uni Afrika dan Etiopia memimpin mediasi diplomatik, setelah operasi pembubaran massa di Khartoum yang berujung mematikan. (Theguardian/OL-6)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Astri Novaria
Berita Lainnya