OTORITAS Amerika Serikat (AS), kemarin, kembali menyerukan kepada para pemimpin Arab Saudi dan Iran untuk meredakan ketegangan diplomatik dan mengedepankan dialog dalam menyelesaikan setiap perbedaan.
Juru bicara Departemen Luar Negeri John Kirby mengatakan Menlu John Kerry telah menghubungi rekan sejabatnya dari Iran dan Saudi.
"Salah satu hal kunci di pikirannya (Kerry) adalah meredakan ketegangan dan mendorong dialog antara negara-negara ini, tetapi juga menyoroti ada masalah mendesak lain di kawasan itu," tegas Kirby.
"Tidak membiarkan proses pembicaraan damai Suriah di Wina gagal atau berjalan mundur merupakan prioritas utamanya," tegasnya.
Pada Selasa (5/1), Kuwait memutuskan hubungan diplomatik dengan Iran dalam merespons aksi penyerangan dan pembakaran di kedutaan Saudi oleh pengunjuk rasa Iran. Sebelumnya, sekutu Riyadh lainnya yakni Bahrain dan Sudan juga mengakhiri relasi diplomatik dengan Teheran.
Sementara itu, Menteri Luar Negeri Irak, Ibrahim al-Jaafari, menyatakan pihaknya bersedia untuk menengahi pertikaian antara Iran dan Saudi.
Saat menggelar konferensi pers bersama dengan Menteri Luar Negeri Iran Mohammad Javad Zarif, dua pejabat berpengaruh ini muncul untuk menunjukkan bahwa Teheran terbuka untuk menyelesaikan konflik diplomatik, yang dikhawatirkan sejumlah pihak akan makin membakar kawasan Timur Tengah.
"Ketegangan regional harus dihadapi dengan bijaksana, bertanggung jawab, dan rasional dalam rangka melestarikan keamanan dan stabilitas Irak," ujar Perdana Menteri Irak Haider al-Abadi dalam sebuah pernyataan.
Di tengah percekcokannya dengan Saudi, Iran merilis sebuah lokasi peluncuran kedua rudal balistiknya, Emad. Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa bulan lalu menyimpulkan bahwa Emad bisa membawa muatan nuklir, dan melanggar resolusi 2010.
Seorang pejabat tinggi Iran baru-baru ini membual bahwa Emad mampu mencapai target hingga 2.000 km dengan tingkat keakuratan yang sangat tinggi.
Kesolidan OPEC Ketegangan diplomatik yang disusul perang kecaman antara Iran dan Arab Saudi telah menambahkan tekanan baru pada kesatuan Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC) saat kartel bergulat merespons harga minyak yang jatuh ke titik terendah.
"Timur Tengah terpecah dan tidak ada OPEC untuk saat ini," kata Bill Harris, dari Street Investment Management.
Sejumlah analis mengungkapkan, OPEC telah berjuang dengan persoalan harga minyak yang melorot sekitar 60% sejak pertengahan 2014, jatuh di bawah US$40 (Rp557 ribu). Mencari terobosan baru untuk masalah ini pun kian sulit sejak Riyadh mengeksekusi ulama Syiah Nimr al-Nimr.
"Apa yang terjadi pada saat ini antara Iran dan Arab Saudi membuat upaya mencari kompromi menjadi lebih sulit," ungkap Francis Perrin, Presiden Strategy and Energy Policy.
Negara-negara Teluk, yang dipimpin penghasil minyak utama OPEC, Saudi, menolak untuk memangkas produksi minyak mereka kecuali negara-negara penghasil minyak yang bukan anggota melakukan hal yang sama. Padahal pemangkasan kapasitas produksi dibutuhkan untuk menggerek harga minyak.
Adapun Iran, juga pilar OPEC yang berpengaruh, tidak berniat membatasi produksinya menyusul pencabutan sanksi oleh kekuatan Barat atas kesepakatan negosiasi nuklir. Kesepakatan itu memungkinkan Teheran melanjutkan kegiatan ekspor minyak mentah mereka.
"OPEC tidak memiliki kebijakan pada saat ini karena masing-masing pihak memikirkan diri mereka sendiri," kata Ole Hansen, seorang analis Saxo Bank.
Selain persaingan politik dan agama, dua kekuatan di Timur Tengah tersebut juga bentrok memperluas periuk mereka dari pangsa pasar minyak dunia.
"Dari perspektif Iran, 'itu akan adil' bagi anggota OPEC lainnya, termasuk Arab Saudi, untuk mengurangi produksi minyak mereka pada 2016 untuk menciptakan sejumlah ruang (untuk Iran) tanpa mendorong harga turun lebih jauh," tandas Perrin.
Sementara itu, di saat Iran dan Saudi bertengkar merebut pangsa pasar minyak dunia, Riyadh mengumumkan telah memotong harga ekspor minyak Februari mereka untuk pasar Eropa.
Kerajaan juga sedikit memangkas harga sejumlah nilai ekspor ke Amerika Serikat dan Timur Tengah, tetapi menaikkan harga semua nilai ekspor ke Asia. Harga minyak mentah Arab Light untuk Asia dinaikkan 60 sen per barel, tapi masih 80 sen dibawah harga patokan.
Sebuah pernyataan yang dikeluarkan oleh konglomerat minyak nasional Aramco mengatakan, harga minyak mentah Arab Light untuk pasar Eropa barat laut dipotong sebesar US$0,60 per barel dari bulan Januari menjadi US$4,85 per barel di bawah harga patokan.
"Harga dari kelas lainnya juga dipotong 40 sampai 50 sen per barel," kata Aramco dalam pernyataannya.
Eropa merupakan pasar tradisional bagi minyak Iran sebelum sanksi internasional dijatuhkan kepada 'Negeri para Mulla' pada 2012 atas program nuklirnya. (AFP/Q-1)