Headline

Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.

Fokus

Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.

Warga Kristen Palestina Sebut Trump Membunuh Kegembiraan Natal

MICOM
22/12/2017 14:08
Warga Kristen Palestina Sebut Trump Membunuh Kegembiraan Natal
(AFP)

WAKIL Presiden AS Mike Pence mungkin telah menunda kunjungannya ke Jerusalem, namun warga Kristen Palestina menyebut bahwa pengakuan Washington atas Jerusalem sebagai ibukota Israel telah merusak kebahagiaan Natal mereka.

Di Betlehem, pada tahun-tahun sebelumnya warga merayakannya Natal tanggal 24 dan 25 Desember, termasuk mengadakan misa tengah malam di Gereja Kelahiran Tuhan, yang dibangun di atas tempat tersebut yang dianggap sebagai tempat kelahiran Yesus.

Di tahun-tahun yang baik itu, kota Tepi Barat dibanjiri oleh pengunjung (wisatawan) dari Palestina dan asing pada hari-hari sebelum Natal.

Namun dalam minggu-minggu sebelum perayaan Natal tahun ini, kota ini tampak sepi wisatawan. Pemandangan keceriaan berganti dengan bentrokan antara demonstrans Palestina dan tentara Israel yang jumlahnya sangat banyak.

Di halaman di samping gereja, sebuah pohon Natal yang menjulang yang dihiasi lampu hanya dikerumuni sedikit pengunjung, selain dari pedagang kaki lima yang menjual topi Santa dan beberapa orang Palestina di sana.

Uskup Agung Pierbattista Pizzaballa, administrator apostolik dari Patriark Latin Yerusalem dan pejabat Katolik Roma yang paling senior di Timur Tengah, mengatakan kepada para wartawan bahwa pada tahun ini (2017) telah terjadi peningkatan yang nyata pada turis religius.

Namun, ujarnya, Presiden AS Donald Trump pada 6 Desember 2017 menyatakan Jerusalem sebagai ibukota Israel respons yang terjadi puluhan kelompok pelancong telah membatalkan kunjungan yang sudah mereka rencanakan.

"Tentu keputusan Trump ini menciptakan ketegangan di sekitar Jerusalem dan mengalihkan perhatian dari Natal," tegasnya.

Jane Zalfou, warga Kristen Betlehem (37), mengatakan bahwa banyak perayaan Natal dibatalkan setelah keputusan tersebut, yang telah "membunuh sukacita" di masyarakat.

"Musik, kembang api dan banyak hal lainnya telah dibatalkan," katanya kepada AFP.

"Apa yang terjadi bukanlah hal yang kecil - ini adalah masalah besar. Rakyat Palestina telah lama menunggu hak mereka." ucapnya.

Saat ini, mungkin sedikitnya 50.000 orang Kristen Palestina atau sekitar dua persen dari populasi Muslim hidup rukun di Tepi Barat dan Jerusalem timur.


Dukungan evangelis

Untuk diketahui, Israel merebut Jerusalem timur dalam perang Timur Tengah 1967 dan kemudian mencaploknya, dalam gerakan yang tidak pernah diakui oleh masyarakat internasional.

Orang-orang Palestina memandang Jerusalem timur sebagai ibu kota negara masa depan mereka, namun Israel melihat keseluruhan kota (di Jerusalem) sebagai ibukotanya yang tak bisa dibagi-bagi.

Masyarakat internasional tidak mengakui Jerusalem sebagai ibukota Israel, dan tetap mempertahankan kedutaan besar mereka di Tel Aviv.

Orang-orang Palestina menafsirkan pernyataan Trump sebagai menolak hak mereka atas sebuah ibukota di Yerusalem timur, meskipun orang Amerika menyangkal ini.

Dalam pertunjukan dukungan internasional terakhir untuk orang-orang Palestina, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada Kamis (21/12) menolak keputusan AS di Jerusalem.

Untuk diketahui pula keputusan Trump adalah pemenuhan janji kampanye yang sangat penting bagi pendukung Kristen evangelis - dengan Wapres Pence termasuk di antara mereka.

Gerakan Kristen evangelis sangat mendukung Israel, yang pendiriannya mereka lihat sebagai penggenapan nubuatan Alkitab.

Orang-orang Kristen evangelis terkemuka Laurie Cardoza-Moore mengatakan bahwa mereka ingin melihat sebuah kuil Yahudi ketiga yang dibangun di Yerusalem untuk membantu memfasilitasi kedatangan Kristus yang kedua kali, namun dukungan mereka untuk Israel tidak hanya didasarkan pada tulisan suci.

"Seperti Yudaisme, Kekristenan percaya bahwa Mesias pada suatu hari akan duduk di takhta Daud di Jerusalem," katanya dalam sebuah pernyataan kepada AFP.

Ironisnya bahwa dukungan Kristen Amerika adalah salah satu faktor pendorong dalam langkah Trump dan tidak ditemui pada orang Kristen Palestina.

Mereka melihat nasib mereka sebagai bagian dari komunitas Palestina yang lebih luas, yang memandang pendudukan Israel sebagai masalah terbesar yang mereka hadapi.

Mitri Raheb, pastor dari Gereja Natal Lutheran Evangelikal di Bethlehem, mengatakan bahwa orang-orang Amerika Kristen yang mendukung Israel mengabaikan pendudukan yang sedang berlangsung di wilayah Palestina.

"Inti dari Alkitab adalah kebebasan, bukan perbudakan, pembebasan bukan pendudukan. "Sayangnya Trump dan rakyatnya mengorbankan orang-orang Kristen Palestina untuk agenda politik mereka."

Orang-orang Palestina dari Tepi Barat, termasuk orang Kristen, memerlukan izin khusus untuk mengunjungi Yerusalem, sementara negara Yahudi telah membangun tembok di sekitar sebagian besar kota.

Georgette Qassis, (65) dari Betlehem yang mengenakan syal biru yang disulam dengan kata 'Yesus' dalam bahasa Inggris mengamini pernyataan Pastor Raheb.

"Siapa yang memberi Trump hak? Kami tidak melakukannya," katanya. "Orang-orang Palestina ada di sini di tanah yang luas ini. Mereka (Trump dan Kristen Evangelis di AS) seharusnya meminta pendapat kami."(OL-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Soelistijono
Berita Lainnya