DENGAN mengenakan setelan jas dilengkapi dasi, Ammar Mustapha duduk di dalam sebuah kompleks Eton College. Tidak pernah terlintas dalam pikiran Mustapha, seorang warga Palestina yang dalam empat tahun terakhir hidup sebagai pengungsi di kamp-kamp kecil di Suriah dan Libanon, bahwa ia menerima beasiswa dari sekolah paling bergengsi di tanah Britania Raya yang dikenal sebagai pencipta tokoh-tokoh penting negara, seperti perdana menteri dan pemimpin bisnis. Eton College juga merupakan tempat menimba ilmu keluarga kerajaan.
"Ini sebuah kesempatan yang mengubah hidup," ucap Mustapha pelan. Remaja 18 tahun itu mendapat beasiswa karena performa akademisnya yang luar biasa.
Semua berawal dari Yarmuk, sebuah kamp untuk pengungsi yang terletak di Damaskus, Suriah. Tempat itu menjadi lokasi pertama Mustapha beserta keluarganya tinggal sejak meninggalkan negara mereka. "Sebenarnya tidak buruk keadaan di sana," ujar Mustapha.
Ia mengatakan keadaan di kamp tidak seperti yang digambarkan kebanyakan orang. "Kamp-kamp itu tidak berarti sebuah tenda."
Ia mengisahkan masa-masa awal berada di Yarmuk sangat aman dan tenang. "Bahkan, kami bisa berbelanja di tengah malam." Namun, semua berubah ketika perang mulai berkecamuk di Suriah. Mustapha dan keluarga meninggalkan kamp tersebut dan menuju Libanon.
Di sanalah berkah menghampiri Mustapha. Ia bertemu Peter Mann, seorang guru fisika dari Eton yang sejak dua tahun terakhir berada di negara tersebut untuk menggali bakat terpendam yang dimiliki anak-anak pengungsi.
Saat itu Mustapha yang masih berusia 16 tahun. Ia mengikuti tes dan terpilih sebagai penerima beasiswa. "Ammar anak yang pemalu, tapi memiliki kemampuan akademis yang di atas rata-rata. Dia berbeda dari yang lain," ujar Mann.
Mann mengungkapkan kemampuan bahasa Inggris Mustapha berkembang dengan sangat pesat. Tidak hanya itu, Mustapha juga bagus dalam bidang lain, seperti olahraga dan fotografi. "Dia cepat beradaptasi dengan metode pengajaran kami yang sangat jauh berbeda dengan tempat asalnya," lanjut Mann.
Awalnya Mustapha mengaku sangat gugup, tetapi tekad dan keinginannya yang kuat mampu mengalahkan itu semua. "Saya sejak dulu ingin pergi ke Eropa dan melihat bagaimana budaya, bahasa, dan sistem pendidikan yang ada di sana," papar Mustapha.
Kendati demikian, Mustapha juga merasa sedih karena harus meninggalkan seluruh keluarganya. "Ini pertama kalinya saya meninggalkan mereka."
Kini Mustapha tengah dalam tahun terakhirnya di Eton College. Ia berencana untuk melanjutkan studinya di universitas terkemuka di Inggris atau Amerika Serikat dan kembali ke Timur Tengah setelah semua selesai. "Saya memiliki impian untuk kembali ke Libanon dan membantu para penduduk di sana," ungkapnya.
Hal tersebut tentu saja menjadi kabar gembira bagi Cogito Scholarship Foundation yang menjadi penyedia beasiswa. "Jika berhasil, kami akan memiliki 2.000 pemuda yang akan membawa Timur Tengah kepada kemajuan," ujar pendiri Cogito, Ali Erfan.(AFP/I-2)