Headline

Bartega buka kegiatan belajar seni sambil piknik, ditemani alunan jazz, pun yang dikolaborasikan dengan kegiatan sosial.

Fokus

Sekitar 10,8 juta ton atau hampir 20% dari total sampah nasional merupakan plastik.

Sosialisasi Perbedaan untuk Hindari Kekerasan

MI
12/1/2016 00:00
Sosialisasi Perbedaan untuk Hindari Kekerasan
(Migran dan pencari suaka turun dari feri di Pelabuhan Piraeus, Athena, 4 Januari--AP/THANASSIS STAVRAKIS)
JAUH sebelum beberapa insiden pelecehan seksual terjadi di Helsinki, Finlandia, dan Cologne, Jerman, pada malam perayaan tahun baru lalu yang diduga dilakukan kelompok migran, Norwegia telah menawarkan program sosialisasi mengenai perbedaan budaya antara negara asal migran dan negara tujuan.

Salah satu pesertanya ialah Abdu Osman Kelifa, 33, migran asal Eritrea di Benua Afrika. Ia mengaku sempat tercengang saat mulai bermukim di Eropa begitu melihat banyak perempuan mengenakan pakaian ketat, juga minum alkohol, serta berciuman di tempat umum.

Menurut Kelifa, di negara asalnya, hanya wanita pekerja seks yang bersikap demikian. Bahkan, film-film di sana hanya menampilkan adegan pelukan, tidak pernah ada adegan orang berciuman.

Karena bingung dengan hal itu, Kelifa memutuskan untuk bergabung dengan program pencegahan pelecehan seksual untuk migran dan sosialisasi adaptasi lingkungan masyarakat Eropa.

Program sosialisasi itu awalnya digagas di Kota Stavanger, Norwegia, pada 2013. Departemen Imigrasi merekrut lembaga nonprofit Alternative to Violence guna melatih para pekerja di pusat pengungsian mengenai cara mengatur dan menjalankan kelas pendidikan seksual serta bentuk kekerasan lain.

Saat itu, pemerintah menyediakan dana untuk dua tahun yang digunakan sebagai bayaran jasa penerjemah di setiap kelas. Saat ini program sosialisasi tersebut tengah dikaji ulang hasilnya.

"Yang paling berbahaya ialah diam. Banyak pengungsi yang datang dari budaya yang tidak mengenal kesetaraan gender dan perempuan menjadi semacam properti bagi lelaki," kata Per Isdal, psikolog klinik di Stavanger yang bekerja sama dengan yayasan yang mengembangkan program sosialisasi yang diikuti Kelifa.


Sebuah blok apartemen yang digunakan untuk menampung pengungsi asal Suriah di Rothesay, Pulau Bute, Skotlandia.
AFP/ANDY BUCHANAN

Program semacam itu juga dilakukan di Lunde dan sejumlah wilayah lain di Norwegia. Program dikelola secara sukarela dan dilangsungkan per minggu dengan sistem diskusi kelompok mengenai pelecehan dan kekerasan seksual.

"Tujuannya ialah partisipan setidaknya tahu mana yang benar dan yang salah," ujar Nina Machibya, manajer pusat pencari suaka.

Pada modul pembelajaran tertulis aturan utama yang di antaranya menyebutkan memaksa seseorang melakukan hubungan seks itu tidak diperbolehkan di Norwegia, bahkan ketika dia sudah menikah dengan orang itu.

Kelifa mengaku sulit memahami hal itu. "Di negara asal saya, jika seorang laki-laki menginginkan seorang perempuan, dia bisa langsung saja membawa perempuan itu tanpa ada hukuman setidaknya oleh polisi," kata Kelifa.

Ia mengakui wawasannya terbuka berkat mengikuti program sosialisasi bagi para migran di Norwegia. Dia juga membuka mata di Norwegia, memperlakukan perempuan dilakukan dengan cara yang berbeda dari yang dilakukan di negara asalnya.

Kelifa mengatakan, "Ternyata setiap perempuan memiliki hak untuk menjadi perdana menteri, bahkan sopir truk, dan memiliki hak untuk bersantai tanpa gangguan."

Program pengajaran dan sosialisasi norma lokal itu mulanya dilakukan di Stavanger yang merupakan area industri perminyakan Norwegia dan magnet bagi para migran. Di sana, serangkaian kasus pelecehan seksual terjadi sepanjang 2009-2011.(Nytimes/Aya/I-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Admin
Berita Lainnya