Perempuan Bahrain yang memprotes eksekusi ulama Syiah terkemuka, Nimr al-Nimr, meneriakkan sloganslogan saat bentrok dengan polisi antihuru-hara di Manama, Bahrain, Senin (4/1).(AFP/MOHAMMED AL-SHAIKH)
DUNIA terus menyerukan kepada pemimpin Arab Saudi dan Iran untuk berdamai dan meredakan ketegangan kedua negara serta mengedepankan dialog dalam menyelesaikan persoalan.
Hubungan kedua negara berpengaruh di Timur Tengah itu memanas setelah Arab Saudi mengeksekusi ulama Syiah Nimr al-Nimr, Sabtu (2/1). Tindakan tersebut memantik gelombang protes di Teheran hingga akhirnya Riyadh memutuskan hubungan diplomatik dengan Iran yang diikuti Bahrain, Sudan, dan Kuwait.
Juru bicara Departemen Luar Negeri AS John Kirby mengatakan, Menlu John Kerry telah menghubungi koleganya dari Iran dan Saudi untuk urun upaya meredakan ketegangan. Hal yang sama dilakukan Menlu Indonesia Retno Marsudi.
"Komunikasi telah dilakukan, tetapi kedua negara belum menyampaikan bantuan apa yang mereka butuhkan. Mereka menyampaikan terima kasih atas perhatian Indonesia," ujar juru bicara Kementerian Luar Negeri Indonesia Arrmanatha Nasir di Jakarta, kemarin.
Retno Marsudi juga telah menjalin kontak dengan Menlu Rusia Sergei Lavrov. Sputniknews pun memberitakan bahwa komunikasi tersebut dilakukan untuk mencari metode yang tepat guna menurunkan ketegangan di Timur Tengah.
Menlu Irak Ibrahim al-Jaafari menyatakan pula pihaknya bersedia menengahi pertikaian antara Iran dan Saudi. Ia menggelar konferensi pers bersama Menlu Iran Mohammad Javad Zarif di Teheran, kemarin, untuk menunjukkan bahwa Iran terbuka dalam penyelesaian konflik.
Beban OPEC Ketegangan antara Arab Saudi dan Iran telah menambah tekanan terhadap kesatuan Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC) saat mereka bergulat merespons harga minyak yang anjlok ke titik terendah. "Apa yang terjadi pada saat ini antara Iran dan Arab Saudi membuat upaya mencari kompromi menjadi lebih sulit," ungkap Francis Perrin, Presiden Strategy and Energy Policy.
Negara-negara Teluk yang dipimpin Saudi menolak memangkas produksi minyak mereka kecuali negara-negara penghasil minyak yang bukan anggota OPEC melakukan hal yang sama. Padahal pemangkasan produksi dibutuhkan untuk mengerek harga minyak.
Di lain sisi, Iran yang juga pilar OPEC tidak berniat membatasi produksinya menyusul pencabutan sanksi oleh Barat atas kesepakatan negosiasi nuklir. "OPEC tidak memiliki kebijakan pada saat ini karena setiap pihak memikirkan diri mereka sendiri," kata Ole Hansen, analis Saxo Bank.
Dari Jakarta, Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro mengatakan ketegangan di Timur Tengah akan membuat harga minyak dunia naik, tapi tak signifikan. Menurutnya, pasokan minyak di pasar global masih berlebih apalagi dengan melimpahnya shale oil dari AS.
"Karena itu, konflik di Timur Tengah tidak akan berpengaruh besar terhadap harga minyak dunia. Dampaknya ada, tetapi mungkin tidak akan sebesar sebelum adanya shale gas dan shale oil," ucap Komaidi.
Ia memprediksi harga minyak dunia pada 2016 bakal berada di kisaran US$50 per barel. "Sekarang kan US$35 per barel. Malah ada analis yang mengatakan bisa sampai US$20 per barel, tapi (ketegangan) Arab dan Iran ini akan cenderung membuat naik sedikit." (Pra/Jes/X-9)