Headline
Presiden memutuskan empat pulau yang disengketakan resmi milik Provinsi Aceh.
Presiden memutuskan empat pulau yang disengketakan resmi milik Provinsi Aceh.
Kawasan Pegunungan Kendeng kritis akibat penebangan dan penambangan ilegal.
Masih ada anggapan bahwa penulis hanyalah mereka yang karya-karyanya diterbitkan penerbit besar dan eksis di etalase toko-toko buku.
MENGHADIRKAN alternatif bacaan seputar novel untuk kalangan anak muda, itulah niat awal Fatimah Azzahrah, 27, yang mendasari kelahiran Cabaca, sebuah startup atau media rintisan seputar dunia literasi dengan platform baca sekaligus penerbit buku. Dengan platform itu, Cabaca menerbitkan novel dalam bentuk buku elektronik dan menyuguhkannya secara daring.
Fatimah yang akrab dengan dunia tulis menulis sejak SMA itu tergelitik merintis usaha tersebut lantaran adanya anggapan akan rendahnya minat baca di Tanah Air. Buku-buku cetak jarang ada yang menjamah dan media cetak mengalami senja kala.
Di sisi lain, ia mendapati tingginya antusiasme generasi muda dalam menggunakan media sosial. Mereka menulis status dan melontar komentar di media sosial. Bagi Fatimah, fakta tersebut menunjukkan perubahan minat baca dari media cetak ke digital.
"Jadi, kita hadirkan alternatif baru bagi dunia literasi," ujar perempuan kelahiran Banyuwangi, Jawa Timur itu.
April 2017, Fatimah merealisasikan niatnya. Terbiasa aktif di pers mahasiswa lewat Balairung Universitas Gadjah Mada (UGM), ia tidak kesulitan mengonsep isi dan desain kreatif Cabaca.
Ia pun mengajak temannya untuk menjadi editor. Mereka berdua langsung bergerak mengisi kekosongan ruang baca alternatif yang belum tergarap dengan maksimal. "Kami ingin menghadirkan alternatif bacaan baru yang kualitasnya sama dengan penerbit mayor, tapi bisa diakses kapan saja dan di mana saja," jelas co-founder Cabaca tersebut.
Fatimah kemudian menawari teman-temanya yang hobi menulis untuk menerbitkan karya secara daring di Cabaca. Namun, ternyata tidak mudah. Sebagian dari mereka menolak karena menginginkan novel mereka punya wujud fisik. Plus, dapat dipajang di toko-toko buku.
Meski demikian, ada juga teman-temannya yang bersedia sebanyak delapan orang. Tulisan mereka kemudian ia proses menjadi novel digital, yang kemudian diunggah dan ditampilkan di Cabaca. "Semua bisa membacanya, gratis," kata Fatimah.
Masyarakat yang karib dengan gawai, cukup membuat akun dan tidak perlu mengunduh aplikasi. Bisa langsung registrasi melalui media sosial Facebook atau lewat e-mail. Setelah terdaftar, semua novel bisa dibaca secara gratis.
Awalnya, kerja keras Fatimah dan teman-teman tidak mendapat respons gegap gempita. Hanya sedikit orang yang mengakses novel-novel digital terbitan Cabaca. Tidak sampai ratusan. Akan tetapi, semangat Fatimah tak patah. Empunya nama pena Asya Azalea itu percaya, suatu saat media rintisan Cabaca mendapat tempat di masyarakat, khususnya generasi milenial yang gemar membaca lewat gawai.
Kegigihan Fatimah akhirnya memang berbuah manis. Lambat laun, jumlah pembaca Cabaca terus bertambah. Sekarang jumlahnya sudah mencapai ribuan per hari.
Rata-rata pengakses Cabaca ialah remaja atau dewasa muda dengan kisaran usia 13 tahun sampai 25 tahun. Kebanyakan buku yang mereka baca ialah buku-buku bergenre romance maupun teenlit. Tren pembaca Cabaca yang terus bertambah itu kian meyakinkan Fatimah bahwa minat baca di Indonesia tidak turun. Ia hanya berganti medium.
Ratusan naskah
Selain meningkatnya jumlah pembaca, Fatimah pun kini melihat tren serupa pada penulis yang terdaftar di Cabaca. Kini saban bulan ada ratusan naskah yang masuk dan antre di meja editor. Naskah yang masuk tak pernah Cabaca tolak karena Fatimah memang ingin budaya membaca dan menulis terus bersemi. Walakin, Cabaca tetap memiliki standar untuk naskah yang akan diterbitkan.
Cabaca mempertimbangkan orisinalitas cerita. Mereka melihat ide cerita, plot, dan gaya bahasa. Setelah itu, tim redaksi memilahnya ke genre yang ada di Cabaca, seperti romance, komedi, horor, action, fantasi, dan thriller.
Bagi jebolan Sastra Indonesia UGM tersebut, menulis tidak hanya memindah ide menjadi teks. Sang penulis juga harus mampu membuat tulisannya menjadi layak dibaca. Oleh karena itu, jika ada naskah yang butuh perbaikan, pihaknya akan memberi catatan dan meminta penulisnya merevisi.
Yang paling penting, bagi Fatimah ialah bagaimana Cabaca dapat menghadirkan naskah yang layak dan bermutu untuk pendidikan literasi di Indonesia. Oleh karena itu, Cabaca ketat menganulir naskah yang mengandung hoaks dan menimbulkan keributan di masyarakat.
Saat ini Cabaca sudah memublikasikan 80 novel. Jumlah itu belum termasuk novel-novel yang kerja sama dengan Cabaca. Penulisnya beragam dari berbagai usia dan asal. Ada yang dari Sumatra, Samarinda, Balikpapan, dan daerah-daerah lain. "Ada juga penulis yang masih duduk di bangku SMP, dia bikin novel science fiction," terang Fatimah.
Kerang Literasi
Kendati Cabaca menggratiskan semua novel yang ada, tapi tak semua bab bisa dibaca. Biasanya hanya mulai bab 1 sampai bab 3. Untuk melanjutkan membaca ke bab-bab berikut, pembaca mesti membayar via transfer uang atau pulsa ke Cabaca.
"Tapi, kalau pakai Kerang, bisa membaca gratis semua," lanjut Fatimah.
Kerang menjadi alat pembayaran yang bisa dipakai agar pembaca Cabaca dapat membaca gratis. Cara mendapat Kerang pun terbilang mudah. Cukup dengan aktif menuliskan komentar, membagikan, atau memberi rating untuk Cabaca.
Kerang itu pun bisa dikonversi menjadi rupiah untuk penulis. Semakin banyak Kerang, semakin banyak keuntungan bagi penulis. Cabaca juga telah berkomunikasi dengan penulis soal Kerang pembaca, dan penulis setuju karena mereka juga diuntungkan.
Ya, penulis Cabaca memang mendapatkan royalti sama seperti penerbit besar. Menurut Fatimah, royalti penulis berkisar antara 30%-60%. "Jadi, pembaca senang dan penulis juga untung."
Animo pembaca dan penulis Cabaca yang makin merekah bukan berarti jalan Cabaca ke depan sepenuhnya mulus. Pasalnya, saat ini masih banyak orang yang belum bisa beranjak dari buku konvensional. Kemudian, masih ada persepsi bahwa penulis ialah mereka yang karya-karyanya diterbitkan penerbit besar dan mejeng di tokong buku. Buat Fatimah, itulah tantangan besar yang masih dihadapi. "Anggapan itu bisa dipertahankan tahun ini, tapi tahun medatang belum tentu begitu," lanjutnya optimistis.
Pada satu waktu nanti, ia percaya pandangan tersebut akan berubah sebagaimana dulu ia percaya Cabaca akan mendapat tempat di hati pembaca muda. (M-2)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved