Headline
Presiden memutuskan empat pulau yang disengketakan resmi milik Provinsi Aceh.
Presiden memutuskan empat pulau yang disengketakan resmi milik Provinsi Aceh.
Kawasan Pegunungan Kendeng kritis akibat penebangan dan penambangan ilegal.
DALAM pemahaman umum, termasuk para antropolog dan sejarawan, peradaban dimengerti sebagai produk-produk atau bentuk material dari kebudayaan.
Maka telepon seluler, gedung pencakar langit, pesawat luar angkasa hingga fesyen terbaru merupakan elemen atau tanda dari peradaban.
Sejujurnya, secara pribadi, saya agak merasa aneh dengan pengertian atau konsep teoretis macam di atas, yang jadi pegangan orang-orang seperti A Toynbee hingga beberapa ilmuwan sosial terkemuka dalam negeri. Pengertian peradaban ala Toynbee itu antara berlandaskan pada pemahaman kesejahteraan bentuk material yang menjadi puncak kebudayaan itu sebenarnya menjadi indikasi bagi runtuhnya peradaban, sebagaimana terjadi pada banyak bangsa kuno, seperti Sumeria, Babilonia, Mesir, dan sebagainya.
Namun, mengapa tidak diperhitungkan ada pula peradabanperadaban kuno yang tetap bertahan, selama ratusan atau ribuan tahun bahkan, walau tentu banyak perubahan atau modifi kasi di sana-sini. Katakanlah dengan apa yang kita kenal dengan peradaban Tiongkok, yang sekurangnya bertahan 6.000 tahun. Atau peradaban Jepang, Thailand, atau tidak bisakah juga kita golongkan peradaban Jawa di dalamnya?
Bila contoh-contoh terakhir di atas dapat kita sepakati, tentu pemahaman peradaban yang tertulis sebelumnya gugur dengan sendirinya. Saya kira runtuhnya konsep atau teori peradaban tersebut wajar saja, karena tampaknya konsep tersebut, dalam hemat saya, terlalu menyederhanakan pemahaman sebuah peradaban, sebagai bentuk pencapaian kebudayaan di tingkat tinggi.
Pemahaman itu pun terasa sangat reduktif, bila kita kematangan atau maturitas sebuah kebudayaan, sebagaimana ditunjukkan banyak peradaban dalam sejarah, tentu juga memiliki mekanisme survivalnya sendiri. Mekanisme di mana mereka memiliki semacam daya tahan atau kelenturan menghadapi kelemahan atau gempuran yang mengancam eksistensinya. Karena pada tingkat kedewasaan sebuah kebudayaan, semua elemenelemennya terintegrasi begitu kuat sehingga ia menjadi semacam organisme, yang walaupun di dalamnya terdapat benturan dalam bentuk intrik hingga konfl ik, diskursif hingga fisik akhirnya ia menjadi dinamika yang justru mempersolid dan mempertinggi daya lentur organisme itu.
Bahwa sebuah organisme, seperti hewan, tumbuhan, bahkan manusia, betapa pun kukuh (solid) dan lentur tubuh, akal dan batinnya, pada akhirnya akan mati, tentu saja itu sebuah peristiwa biasa (alamiah). Maka, bila ciptaan Illahi saja harus mati, apalagi (kebudayaan yang merupakan) ciptaan manusia, pasti akan punah. Namun, banyak kasus dalam sejarah, orang-orang mati di usia lebih satu abad sementara angka harapan hidup masyarakatnya kurang dari dua per tiganya.
Untuk itulah, saya berargumen, peradaban tidak lain ialah tahap kematangan sebuah kebudayaan yang terjadi karena terciptanya agregasi dari seluruh elemen-elemen yang ada di dalamnya, termasuk subsub kultur yang turut menjadi bagiannya. Dalam pengertian inilah, saya memandang kebudayaan (-kebudayaan) yang berkembang di seluruh wilayah Nusantara telah menciptakan sebuah peradaban kuat, yang dalam banyak kesempatan saya menyebutnya sebagai Bahari.
Peradaban semacam ini memilih ciri, sifat atau karakter yang khas yang dalam gradasi masing-masing juga dapat kita temukan dalam kebudayaankebudayaan subkultur (etnik) yang ada di dalamnya. Bagaimanakah kondisi peradaban Bahari Indonesia itu saat ini? inilah pertanyaan menarik yang menawarkan jawaban jauh lebih menarik.
Adab menggiriskan
Bila ditelusuri secara mendalam sejarah peradaban Indonesia, juga etnik atau yang kita sebut juga suku bangsa di dalamnya, saat ini mencapai satu tingkatan yang justru lebih rendah dari masa atau periode-periode sebelumnya.
Sebuah kenyataan yang tidak menyenangkan akibat terjangan kebudayaan luar (asing dan global), dalam kekuatan yang masif atau tsunamik ditambah dengan nafsu yang dominatif serta hegemonik. Nafsu yang memang khas kontinental, melulu untuk mendapatkan keuntungan politis juga ekonomis (industrial), sebagaimana terjadi dalam sejarah manusia dalam bentuknya yang berbeda.
Kekuataan masif atau tsunamik itu terjadi terutama disebabkan kemajuan teknologi, khususnya di bidang komputasi, informasi, telekomunikasi, dan transportasi. Peristiwa ini tanpa preseden, dalam arti kekuatan gigantik yang dihasilkannya jauh lebih efektif ketimbang apa yang ada di masa lalu.
Kemajuan teknologi, yang walau sudah tercipta sejak tahun 40-50-an itu, namun merebak berbunga pada 30 tahun terakhir, menciptakan dampak yang lebih besar daripada masa 300 tahun sebelumnya.
Wajar, karena bila masa lalu pengaruh asing itu berjalan dengan laju berbasis kecepatan (speed), teknologi mutakhir di atas menciptakan akselerasi dengan kecepatan berbasis velocity (percepatan), sebagai tanda mutakhir dari peradaban milenium dengan generasi milenialnya. Di sinilah terdapat ujian terkeras bagi daya tahan dan kekenyalan sebuah kebudayaan dan peradaban yang terlanda tsunamik kultur teknologis di atas.
Dan apa yang kemudian terjadi pada kita, Indonesia sebagai bangsa, masyarakat juga manusia dalam situasi di atas? Mari kita bayangkan. Seorang ibu muda, yang karena merasa tidak mampu menafkahi anak yang baru dilahirkannya, telah meletakkan anak bayi itu di pantatnya. Ia duduk sedemikian rupa hingga bayi itu habis nafasnya, mati.
Atau kasus lain yang lebih populer: seorang ibu yang juga memiliki persoalan ekonomis serupa, membuat dua anak kecilnya tertidur pulas lalu dengan perlahan menyiramkan minyak tanah ke seluruh badan kedua anak itu serta dirinya sendiri, lalu bergilir menyalakan api yang segera membakar hangus ibu dan anak sekaligus.
Masih kurang? Masih ingat seorang ibu muda, yang mungkin karena malu atau tidak mampu menghadapi akibatnya, telah membunuh bayi yang ia lahirkan sendiri lalu membuangnya ke toilet. Namun karena hampir tercium aksinya itu karena sang mayat bayi tak dapat digelontorkan siraman air, ia memutilasi tubuh anaknya yang memayit itu lalu melesakkan satu per satu potongannya pada lubang kloset agar mudah tergelontorkan?
Ajaib, aneh, mengerikan, dajjal, atau apa? Mana lebih, dalam kasus lain yang semuanya adalah fakta sosial, yakni seorang ayah menggauli tiga putri kandungnya hingga beberapa kali hamil?
Apa yang dapat Anda katakan bila semua itu terjadi di negeri tercinta kita ini? di negeri yang katanya damai, toleran, santun, gotong-royong, ‘indah permai di kata orang’? Semua kejadian degil yang saya belum pernah menemukannya dalam sejarah terliar dari zaman-zaman kegelapan masa lalu, Sodom-Gomora, jahiliyah hingga abad pertengahan Eropa. Kejadian yang bagi pengarang murahan seperti saya tidak mampu mencapainya bahkan dengan imajinasi terbuas sekalipun.
Namun itu fakta kita. Fakta kita juga, jika misalnya, di ibu kota Jakarta, terjadi ribuan bahkan puluhan ribu pelanggaran dan pengkhianatan pada negara, konstitusi, atau regulasinya di jalan raya, tanpa ada penegak hukum yang tegas dan penuh wibawa menanganinya.
Di negeri kita juga, bahkan seorang pengemudi, klerk, atau kurir di instansiinstansi negara dengan sadar dan seakan menjadi kewajaran alamiah melakukan korupsi (terhadap uang rakyat) secara masif, bersama tentu saja, para pemimpin dan kaum elitenya.
Di dalam diri kita juga, terdapat seseorang yang begitu tidak memiliki adab bahkan sekadar rasa malu, menjadi pejabat negara dengan plat nomor polisi kecil di mobilnya dan kita beri fasilitas mewah agar ia bisa menjalankan amanah publik yang sakral itu, tapi justru menghina, mengkhianati, dan menginjak-injak konstitusi juga ideologi di hadapan kita semua, di hadapan semua bangsa dunia, dengan turut mengorupsi harta publik triliunan rupiah.
Tindakannya yang membuat para leluhur dan anak cucu kita merasa giris karena malu tak terhingga, karena harus mengisi sejarah kebangsaan mereka dengan elite tertinggi yang seperti membenamkan kotoran binatang pada kekuatan budaya bangsa ini dengan drama atau akting paling menjijikkan dalam sinetron politik terburuk sepanjang abad.
Becerminlah. Bercerminlah kita, semua sebagai bangsa, pada kenyataan-kenyataan memilukan di atas. Karena mau tak mau kita harus menerima bila semua kenyataan itu merupakan bagian dari (produk) kebudayaan kita, dari peradaban bangsa yang pernah begitu penuh wibawa ditegakkan para leluhurnya. Akh... masa yang baru silam, masa yang belum setahun lalu itu, mengapa begitu dalam membekaskan luka adab di wajah kita, Indonesia? Tapi, terima kasih, kamu telah juga dengan tegas memberi tahu siapa kita sebenarnya, membongkar ilusi, imajinasi buta, juga sloganslogan yang membungkus kita dengan balon-balon keindahan (kultural) yang hampa.
Anjing-Bumi perubahan
Kini, di ujung tahun Masehi, di jelang tahun Anjing-Bumi kata orang Tiongkok ini, masihkah kita akan memproduksi karya-karya kebudayaan yang mengerikan seperti di atas? Puisi, musik, prosa, hingga tari dan rupa yang sibuk dengan ego, persoalan, hingga kecengengannya
sendiri-sendiri. Bahasa yang tak habis merusak diri sendiri. Arsitektur dan tata ruang yang kian jauh menjadi malin kundang dari kekayaan luar biasa ibu kandung kulturalnya sendiri.
Bisnis yang kian kompetitifanimalistik, yang takkan mampu mendegradasi kesenjangan pendapatan yang ia ciptakan dengan sengaja. Juga politik yang tidak hanya kian kasar dari adab yang kian menukik, tapi juga secara tragik merasa bahagia jika bisa merusak integritas hingga kesatuan lawannya, yang sebenarnya ia juga sadar bila kerusakan setara terjadi pada negara dan bangsanya sendiri.
Tak ada kekuatan atau otoritas apa pun, terlebih orang lemah seperti saya, dapat memberi garansi dalam bentuk apa pun untuk terhindarnya kita dari tukikan adab yang kian dalam di tahun depan. Apalagi politik, dengan genggaman kekuasaan sebesar apa pun di tangannya. Tak juga ekonomi, dengan kapasitas kapital sebesar apa pun yang ia kuasai. Apalagi tahun anjing-bumi yang sering kita sebut sebagai ‘tahun politik’ ditandai kesibukan luar biasa dari pasar kaget dan pasar tumpah politik pilkada, juga pemilu legistlatif serta presiden di tahun depannya.
Sebuah momen berkepanjangan yang meminta cost sangat... sangat bahkan terlalu mahal (secara finansial, sosial, kultural, dst) yang ternyata bukan menjadi ajang pendewasaan budaya di basis atau fondasinya, tapi justru kian merusak, memperparah titik nadir yang telah mereka capai di tahun-tahun sebelumnya.
Untuk apa itu semua (ulang 2x)? Satu kata: demokrasi. Satu pretext paling modern, paling argumentatif, paling dibela khalayak, sakral, dan seperti wajib ain, bagi seluruh anak bangsa yang akan segera mendapat sanksi represif jika menolaknya.
Sebuah proxy bagi golongan elite untuk berebut kuasa yang sebenarnya milik publik (kata jargon demokrasi), berebut uang negara yang juga milik publik (kata slogan demokrasi), membagi-bagi harta dan properti negara yang milik publik (kata teori demokrasi) demi kepentingan sempit personal atau yang sektarian.
Dan betapa menggiriskan bila untuk pretext dan proxy di atas, sebagian dari elite menggunakan masyarakat bawah, akar rumput, untuk melancarkan perseteruan (politis) yang merusak dan mendurjana bahasa, kesantunan, nilai-nilai mulia kemanusiaan dan kebangsaan, seluruh keadaban bangsa yang telah dipelihara begitu lama.
Apa yang tersisa (keadaban) di pikiran, perasaan, dan batin mereka? Di mana makna tan ggung jawab (politik) mereka maknai dan hargai? Kita semua tahu, juga sama mencemaskan, sebagian berusaha keras menghindari, tapi sebagian lain bersiap melakukan kedegilan itu hingga puncaknya, seperti terbukti di waktu-waktu silam. Mungkin kata-kata, sesakti apa pun puisi politik dapat diciptakan, mungkin sudah tidak memiliki ketajaman, pengaruh, hingga daya ubahnya. Ancaman-ancaman, dari yang yuridis hingga agamis, juga tak diindahkan.
Senjata, yang sesungguhnya efektif, justru menjadi ‘faktor sembunyi’ yang menciptakan kecemasan lebih akut bila salah digunakan. Doa? Hati suci dan ikhlas mana yang tersisa untuk memanjatkannya, hingga gelombang-gelombang elektromagnetik mengalirkannya menjadi sulur-sulur ilahiah yang ‘menyentuh’ rasa kasih-Nya, pertolongan-Nya. Kita mesti berhenti berharap pada mistik tauhid yang tak terkata, tak terbaca, dan tak tertanda itu.
Kita harus berusaha sendiri, bekerja sendiri, mengubahnya sendiri, walau hanya di tingkat pribadi. Karena kebudayaan, peradaban mulia yang telah kita warisi ini, bukan tanggung jawab (kuasa) elite atau pejabat tinggi, tapi keranjang masa depan yang harus kita pikul sendiri. Hanya satu perubahan yang mungkin, tepat, dan semoga efektif: perubahan dalam diri sendiri. Selamat tahun baru, Anjing-Bumi.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved