Headline
Hakim mestinya menjatuhkan vonis maksimal.
Talenta penerjemah dan agen sastra sebagai promotor ke penerbit global masih sangat sedikit.
PROGRAM Perhutanan Sosial yang digencarkan pemerin-tah kini sudah terlihat nyata mampu mendongkrak kesejahteraan masyarakat melalui pengelolaan hutan secara lestari.
Tak hanya masyarakat bisa mengelola hutan secara legal, namun pelestarian juga berjalan dan mendatangkan manfaat ekonomi dari hasil hutan yang dikelola.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya menegaskan semangat perhu-tanan sosial untuk memuncul-kan keadilan bagi masyarakat yang hidup di kawasan hutan sembari menjaga kelestarian sumber daya hutan. Ketimpangan akses kelola hutan yang dulu belum berpihak pada ma-syarakat kini diubah.
Caranya melalui perizinan pengelolaan dan pemanfaatan kawasan hutan negara."Perhutanan Sosial tidak hanya sebatas memberikan SK izin saja. Namun pemerintah bersama berbagai pihak seperti BUMN, perbankan, dan swasta akan memberikan fasilitasi agar masyarakat dapat bekerja secara maksimal.
Ini sangat berarti bagi masyarakat karena selain mendapatkan jaminan akses mengelola hutan, masyarakat dapat bermata pencaharian dan ujungnya adalah pembangunan ekonomi di daerah," ucap Menteri Siti.
Program tersebut menepis kekhawatiran banyak orang yang selama ini menghadapi kesulitan ketika hendak me-manfaatkan area hutan di sekitar tempat tinggal mereka. Se-bagai upaya agar lahan hutan tersebut menjadi produktif, selain pemanfaatan kawa-san hutan sebagai area pena-naman, perhutanan sosial juga akan dikolaborasikan dengan industri pengolahan sumber daya hutan agar produk yang dihasilkan petani dapat berorientasi pasar.
Menurut penelitian bertajuk 'Dampak Perhutanan Sosial' yang dilakukan Guru Besar Fakultas Ekonomika dan Bis-nis Universitas Gadjah Mada (UGM), Mudrajad Kuncoro menyebutkan perhutanan sosial terbukti berpengaruh langsung kepada peningkatan kehidupan sosial-ekonomi ma-syarakat dan ekologi hutan.
Dari hasil riset, diketahui rata-rata pendapatan petani yang mengelola perhutanan sosial sebesar Rp28,3 juta se-lama satu tahun. Jika dihitung per kapita maka pendapatan keluarga petani mencapai seki-tar Rp700 ribu/kapita/bulan.
Angka itu berada di atas garis kemiskinan yang ditetapkan Badan Pusat Statistik sebesar Rp401.220/kapita/bulan. Perhutanan sosial juga memberi dampak perbaikan ekologi. Masih menurut riset tersebut, satu contoh perhu-tanan sosial skema HKm di Kalibiru, Kulon Progo, yang dikelola sebagai desa wisata, mendorong masyarakat me-lakukan penghijauan.
Karena program tersebut terjadi pe-ningkatan tutupan dari lahan pertanian kering sekunder dan menambah cadangan serapan karbon.Peran pendampingDirektur Jenderal Perhu-tanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan, KLHK, Bambang Supriyanto mengatakan, per 13 Agustus 2019 pemberian izin perhutanan sosial telah mencapai 3.249.179,48 hek-tare (ha).
Target capaian hing-ga akhir tahun ini berkisar 4 juta ha hingga 4,3 juta ha. KLHK sendiri sudah me-nambah alokasi perhutanan sosial dari 12,7 juta ha men-jadi 13,8 juta ha yang tertuang dalam Peta Indikatif Alokasi Perhutanan Sosial (PIAPS) Revisi III.
"Ini angka yang besar se-hingga harapannya ada kea-dilan sosial bagi masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar hutan, menyediakan lapangan kerja, mendukung ketahanan pangan, dan me-munculkan kesadaran masya-rakat dalam menjaga hutan," kata Bambang.Ia menekankan selain pemberian izin kelola, dorongan pascapemberian izin juga menjadi fokus.
Setelah akses lahan diberikan, dilanjutkan dengan pembukaan modal. Pihaknya memberikan stimulan awal bersifat bantuan pemerintah sebesar Rp50 juta per Kelompok Usaha Perhutanan Sosial ( K U P S ) yang mengajukan bantuan.Setelah itu, kelompok tani diharapkan bisa mandiri men-cari akses dengan tetap di-lakukan pendampingan. Fasilitasi berupa pendam-pingan dari penyuluh dan bantuan peralatan, Kredit Usaha Rakyat (KUR), bantuan peralatan usaha pertanian perkebunan, dan penentuan off taker industri penyerap hasil hutan.
"Lokasi-lokasi hutan sosial diharapkan dapat menjadi pusat-pusat pertumbuhan per-ekonomian lokal. Kemandirian kelompok pemegang izin amat diharapkan bisa terbangun setelah dilakukan pendampingan," ujarnya.Bambang menyadari pentingnya peran pendamping untuk membantu kelompok tani membuat Rencana Kerja Usaha (RKU).
RKU menjadi penting untuk petani men-gakses modal karena bisa ditawarkan untuk mendapat pinjaman kredit ataupun dana CSR.Dirinya mendorong partisipasi publik seperti lembaga swadaya masyarakat, prak-tisi, maupun akademisi dalam kaitannya mendampingi ma-syarakat dalam meningkatkan usaha mereka pasca mendapatkan izin hutan sosial. Pendamping yang dimak-sud adalah yang mempunyai kompetensi pendampingan masyarakat.
Sesuai dengan Peraturan Direktur Jenderal PSKL Nomor 1 Tahun 2019, se-tiap lokasi perhutanan sosial wajib memiliki satu pendam-ping. "Saat ini pendamping dari kami yakni penyuluh kehutanan seluruhnya hanya berjumlah 1.215.
Sedangkan lokasi izin perhutanan sosial mencapai 5.825. Artinya ma-sih ada gap karena perband-ingannya sekitar 1:5. Kami membuka untuk pihak luar se-perti LSM dan akademisi yang memang punya kompetensi untuk menjadi pendamping," ucapnya.
Bambang melanjutkan, pemerintah sebagaimana ditekankan Presiden Jokowi dan Menteri LHK juga memberi perhatian tinggi untuk kepas-tian akses hutan bagi masyarakat adat.
Setelah adanya putusan Mahkamah Konstitusi 35/PUU-X/2012, hutan adat ditetapkan bukan lagi menjadi bagian hutan negara.Faktanya banyak masyarakat hukum adat yang telah ada selama ratusan tahun dan kemudian menjadi bagian dari negara bangsa Indonesia. Pengakuan, penghormatan dan perlindungan masyarakat adat sudah sangat jelas diman-datkan dalam Undang-Undang Dasar 1945.
KLHK kemudian menggodok aturan agar segera memberikan pengakuan atas hutan adat tersebut. Pemerintah sepanjang sejarah untuk pertama kali kemudian menerbitkan Peta Hutan Adat dan Wilayah Indikatif Hutan Adat .
Pada April 2019, ditetapkan Wilayah Indikatif Hutan Adat Fase I seluas 472.981 ha.
Pada momen Peringatan Hari Masyarakat Adat Internasional baru-baru ini, KLHK mengumumkan penambahan wilayah indikatif tersebut seluas 101.138 ha. Sehingga, total wilayah indikatif hutan adat Fase II sudah mencakup areal seluas 574.221 ha. (Dhk/S1-25)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved