SEBANYAK satu dari lima pelajar sekolah menengah pertama (SMP) berusia 13-15 tahun, atau sekitar 20%, pelajar SMP telah menjadi perokok aktif.
Ironisnya, sepertiga dari mereka mulai merokok karena penasaran dan mengikuti ajakan teman.
Demikian hasil survei dari Center for Indonesia's Strategic Development Initiatives (CISDI) 2015 terhadap 354 siswa kelas 7 dan 8 dari dua sekolah negeri dan swasta di Jakarta selama Maret hingga Juni 2015.
"Memprihatinkan memang. Mereka mudah sekali beralih jadi kebiasaan merokok karena pengaruh teman dan lingkungan," ujar peneliti dari Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Soewarta Kosen saat diskusi Pengendalian Tembakau di Kalangan Remaja, di Jakarta, kemarin.
Ditambah lagi, data Global Youth Tobacco Survey (GYTS) Indonesia tahun lalu memperlihatkan aktivitas merokok di kalangan remaja tidak hanya menyasar lingkungan pelajar laki-laki (36%), tapi juga kalangan pelajar perempuan (4%).
Bahkan jika diselisik penyebab lainnya, ungkap Soewarta, para pedagang di sekitar sekolah dengan ringan tangan membiarkan pelajar berseragam membeli dan mengonsumsi rokok.
"Bahayanya, anak-anak itu akan jadi kecanduan dan sulit untuk menerima pemahaman mengenai bahaya rokok itu sendiri," ucapnya.
Padahal, menurut Direktur Penyakit tidak Menular Kemenkes Lily S Sulistyowati, kebiasaan merokok bisa jadi salah satu faktor risiko terkena kanker mulut, kanker tenggorok, trakea, bronkus, serta paru-paru.
Konsumsi rokok juga menciptakan beban ekonomi bagi negara hingga Rp105,3 triliun. Termasuk pula biaya rawat inap akibat penyakit terkait senilai Rp1,85 triliun serta biaya rawat jalan Rp0,26 triliun.
"Dengan demikian, tingginya prevalensi merokok terutama di kalangan remaja dan pelajar patut jadi perhatian semua pihak," pungkas Lily.
Buat tata tertib Sebagai salah satu langkah antisipatif, Dinas Pendidikan DKI Provinsi Jakarta mengakui terus mengurangi jumlah perokok aktif pada kalangan pelajar di wilayah Jakarta.
Di antaranya, menurut Kabid SMP Dinas Pendidikan DKI Jakarta Tadjuddin Nur, dengan mengintervensi siswa melalui kegiatan intrakurikuler di sekolah.
"Kami ada muatan lokal wajib bagi kelas 7 selama satu semester khusus membahas masalah rokok. Dalam kegiatan ekstrakurikuler, kami sisipkan pula unsur kesehatan."
Kendati demikian, kata dia, upaya mencegah rokok masuk di lingkungan sekolah akan lebih efektif dengan membuat tata tertib di sekolah.
Itu sekaligus mengajarkan para siswa agar disiplin dan bertanggung jawab.
"Di sisi lain, perlu keterlibatan semua pihak dalam mengatasi dampak bahaya rokok bagi remaja. Seperti dilakukan CISDI, yakni memberdayakan pemuda dalam program Generasi Kreatif Penggerak Nusantara untuk mengampanyekan bahaya merokok di kalangan remaja." ujar dia. (H-2)