Headline
Kenaikan harga minyak dunia mungkin terjadi dalam 4-5 hari dan akan kembali normal.
Kenaikan harga minyak dunia mungkin terjadi dalam 4-5 hari dan akan kembali normal.
Presiden menargetkan Indonesia bebas dari kemiskinan pada 2045.
GERIMIS mengguyur kawasan Dieng pada ketinggian 1.300 meter, kemarin pagi. Tak jauh dari lokasi sebuah wihara, sekelompok warga masih memilah bibit kentang yang akan ditanam di ladang mereka.
Sebagian kaum perempuan dalam kelompok itu menggunakan hijab dan sebagian lainnya tidak. Di antara mereka juga terdapat kaum laki-laki. Mereka bekerja sembari bersenda gurau, lalu tertawa bersama.
“Kami berbeda-beda agama, tapi dapat bekerja sama. Kami juga hidup berdampingan secara damai. Tidak pernah ada masalah agama di sini,” ujar Supandia, 46, salah seorang warga, sembari memilah bibit kentang.
Sewaktu hujan deras, mereka berlarian ke halaman rumah untuk menepi. Sebagian yang memegang payung dengan sigap memayungi lainnya menuju emper rumah. Semangat dan kegembiraan terpancar dari wajah mereka.
Pemandangan itu terlihat di Desa Buntu, Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah. Masyarakat mengenal desa itu dengan sebutan ‘Miniatur Indonesia’. Ada pula yang menyebutnya kampung campuran. Sebutan itu bukan tanpa alasan.
Desa Buntu yang dihuni 2.739 jiwa dalam 792 kepala keluarga (kk) menganut empat jenis agama berbeda, yakni Islam, Kristen, Katolik, dan Buddha.
amun, mereka hidup berdampingan dengan damai. Setiap warga saling toleran sehingga nyaris tidak pernah ada konflik antaragama.
Berdasarkan data di kantor desa setempat, dari 792 KK, mayoritas memang beragama Islam dan terbagi dalam dua aliran, yakni Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU). Di samping mereka ada 60 KK memeluk agama Buddha, 20 KK beragama Katolik, dan 1 KK umat Kristen.
Desa Buntu memiliki 4 rumah ibadah, yakni 1 masjid, 1 musala, 1 wihara, dan 1 gereja Katolik. Lokasinya berdekatan. Gereja dan wihara berdiri kukuh di tengah permukiman warga desa bagian utara.
Lokasi wihara hanya berjarak sekitar 150 meter dari gereja bernama Ibu Marganingsih Stasi Buntu.
Di bagian tengah desa, juga di tengah permukiman, berdiri masjid Muhammadiyah, yang juga berjarak 150 meter dari masjid milik NU.
Kepala Dusun (Kadus) 1 Buntu, Suwoto, menceritakan empat agama hidup rukun di desa itu selama kurun waktu sekitar 40 tahun terakhir.
Sebelum itu hanya ada dua tempat ibadah di daerah itu, yakni sebuah musala dan sebuah kapel atau gereja kecil saja. Akan tetapi, sejak awal, masyarakat Buntu memang sudah terlatih hidup dalam keberagaman sehingga tidak muncul konflik antaragama.
“Toleransi di desa kami, antara lain jika Ramadan, pemuda nonmuslim yang bertugas menjaga keamanan lingkungan dan rumah warga yang ditinggal pergi salat tarawih di masjid. Sebaliknya, jika Natal dan Waisak, banser bersama TNI dan Polri yang menjaga keamanan saat perayaan,” kata dia.
Kegiatan lainnya di desa, termasuk jika ada hajatan dan membangun rumah warga pun dilakukan bersama-sama, bergotong royong, tanpa membedakan agama. Bahkan jika ada warga yang meninggal pun dimakamkan di satu lokasi permakaman umum desa.
Kepala Desa Buntu Supardi memberlakukan aturan tegas dalam perkumpulan dan kegiatan desa yang melibatkan seluruh warga, yakni dilarang membicarakan dan membahas masalah agama. Aturan itu dibuat untuk menjaga keberagaman, sebab pembicaraan soal agama dan keyakinan cenderung sensitif dan berpotensi memicu pertentangan. (Tosiani/P-2)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved